Jumat, 29 Desember 2017

Gandangan

Gandangan
by Indah Zumrotun
Jujur saja aku tidak begitu dekat dengan Mbah Tri, ibu dari Bapak, meski beliau begitu menyayangiku. Dibanding dengan cucu-cucunya (empat cucu perempuan) yang lain, akulah yang lebih sering diberi sangu1. Waktu kecil pun, menurut cerita, beliau yang sering ngemong2 aku sambil gandangan3 hingga aku tertidur.
“Tak lelo lelo lelo legung
Cah ayu turu esuk esuk
Tak lelo lelo lelo legung
Ndang gedhe ndang duwur”
Tak lelo lelo lelo legung
Anak cantik tidur pagi-pagi
Tak lelo lelo lelo legung
Cepat besar cepat tinggi
Sampai aku dewasa dan beliau sudah semakin tua pun, Mbah Tri masih sering gandangan sambil duduk di kursi depan rumah. Gandangannya tidak merdu, hanya menyanyi asal-asalan dengan lirik impromptu.
“Urip kok yo ngene
Ndang tuwo ayo ndang mati
Urip kok yo ngene
Awak lara ora mati-mati”
            Hidup kok seperti ini
            Cepat tua ayo cepat mati
            Hidup kok seperti ini
            Badan sakit tapi tidak segera mati
Meski tidak begitu dekat, bukan berarti aku benci pada beliau. Hanya sedikit tidak suka saja, karena setelah dewasa banyak kudengar gunjingan-gunjingan orang tentangnya. Bukan gunjingan yang baik tentu saja. Gunjingan itu mungkin berasal dari temperamen Mbah-ku yang sering meledak-ledak. Kalau marah beliau sering berteriak-teriak. Kalau sudah lepas kendali, Mbah Tri bisa berteriak sambil menjelek-jelekkan orang yang tidak dia suka, bisa mengungkit hutang, dan menyebar-nyebarkan aib keluarganya sendiri. Orang-orang juga bilang kalau Mbah Tri bisa jadi pakai susuk atau ilmu dukun karena suaminya banyak, dan umurnya terlampau panjang. Orang bahkan juga sudah memprediksi atau lebih tepatnya menyumpahi menurutku,”Mbah Tri nanti kalau mati pasti susah.” Hal itu membuatku sebal dan malu pada teman-teman sepermainan.
Mbah Tri sudah tua, menurut gunjingan tetangga beliau mungkin sudah berumur hampir 100 tahun. Teman-teman (yang kata orang) seusia Mbah Tri pun sudah jauh-jauh tahun banyak yang meninggal. Tapi ya mbuh4
Sekarang aku sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta, luar kota. Hidup di kos-kosan dan perantauan bukan hal yang mudah. Aku sering mimpi yang aneh-aneh. Dan sudah tiga hari ini aku memimpikan Mbah Tri.
“Arep mangkat, Nduk? (Mau berangkat, Nak?)”
“Nggih Mbah.. (Iya Mbah)”
“Sing ati-ati, ndang sukses. (Yang hati-hati, semoga segera sukses)”          
Di mimpiku aku tengah berpamitan dengan Mbah Tri, seperti yang biasa kulakukan saat akan kembali ke rantauan setelah beberapa hari rehat di rumah. Hanya tiga kalimat percakapan itu, sama persis seperti dialog kami saat aku berpamitan terakhir kali.
‘Apa si Mbah kangen padaku ya?’ pikirku.
Tidak ada kabar apapun dari rumah jadi kupikir Mbah Tri pasti masih baik-baik saja. Aku pun cuek. Tapi lama-lama mimpiku mulai seram, Mbah Tri gandangan. Bukannya aku takut, toh aku sudah terbiasa mendengar gandangan-nya sejak bayi. Tapi lama-lama hal itu mengganggu kualitas tidurku. Akhirnya aku pun memutuskan untuk mengambil cuti dan pulang ke rumah. Aku sengaja tidak memberi kabar kali ini, biar surprise.
Setelah satu hari perjalanan dengan bus aku sampai di rumah. Tubuhku rasanya remuk, lelah sekali. Sial, aku dapat bus yang tempat duduknya tidak nyaman. Belum lagi bus-nya ngebut, padahal jalan yang dilalui adalah jalan pegunungan yang berkelok-kelok. Untung sekali aku tidak mabuk perjalanan.
Aku sampai di rumah pagi hari, orang tuaku sedang bekerja jadi rumah sepi. Aku hanya berdua dengan Mbah Tri, yang seperti biasa duduk di bangku depan rumah sambil gandangan saat aku datang.
“Ndonya saya peteng
Urip kok yo gene
Uwong-uwong lewat meneng wae
Udan ora leren-leren”
Dunia semakin gelap
Hidup kok seperti ini
Orang-orang lewat tanpa menyapa
Hujan tidak segera berhenti
Kusalami beliau dan beliau tampak mengenaliku. Sampai di rumah, aku langsung tidur. Biasanya memang begitu, orang tua ku pun sudah tau dan tidak pernah membangunkanku hingga aku bangun sendiri. Jika begitu, aku bisa tidur hingga lima jam.
Dari kamar masih kudengar Mbah Tri gandangan, bukan menyanyi yang merdu dan liriknya pun impromptu. Aku pun jadi tidur lelap sekali. Kali ini aku tertidur hingga lebih dari lima jam. Kudengar Bapak Ibu sudah di rumah. Aku pun keluar jalan-jalan sore, meregangkan otot.
Mbah Tri masih di tempat yang sama dan masih gandangan. Aku melewatinya begitu saja, lalu jalan-jalan di sekitar rumah. Sore yang indah, langitnya temaram dengan jingga selaras dengan hamparan padi yang kuning siap di panen. Ingin ku potret, tapi baru kuingat ponselku mati dan belum sempat ku-charge.
Hampir magrib aku pulang. Di perjalanan, kulihat segerombolan orang ramai-ramai. Penasaran aku pun mendekat. Mereka tampak terburu-buru ke suatu tempat.
“Lha, mbah Tri meninggalnya bagaimana?”
“Ya pas tidur dikamar gitu, lalu di tengok bapaknya Mira, eh udah nggak ada.”
“Innalillahi ya….”
Aku yang mendengar terkesiap mendengar nama Mbah Tri dan namaku disebut. Terkejut tiba-tiba. ‘Apa? Mbah Tri meninggal? Tadi pagi masih baik-baik saja di depan. Bahkan tadi sebelum jalan-jalan juga masih kulihat di depan rumah…’ Aku langsung berlari menuju rumah. Sepenggal percakapan yang kudengar cukup membuatku bertenaga untuk berlari seperti kuda.
Kulihat di rumah sudah berkerumun banyak orang, tong-tong air sudah disiapkan seperti untuk memandikan jenazah. Bunga-bunga rampai sudah di rangkai. Ada keranda juga di pojok rumah. Astaga, aku sungguh terkejut. Aku mungkin tidak begitu menyukai Mbah Tri, tapi bagaimanapun beliau nenekku.
Aku mencoba masuk rumah, mlipir diantara banyak kerumunan orang. Dalam hati sebal juga, ‘permisssiiiii ini aku cucunya lho, kok ya ngga diberi jalan.’
Susah payah aku bisa masuk dalam rumah. Di ruang tengah diletakkan dipan panjang, ada jenazah disana. Bapak dan Ibu menangis. Budhe-budhe, bulek-bulek dan sepupu-sepupu juga menangis. Aku cukup heran, tak kusangka mereka begitu menyayangi Mbah Tri.
Detik berikutnya aku terkejut bukan kepalang. Darahku berdesir hebat. Dari tadi aku yang masih berdiri saja, kini sudah jatuh terjerembab. Lama kuamati jenazah di depanku. Dari kain putih transparan yang menutupi wajah jenazah aku bisa mengenalinya. Itu bukan wajah Mbah Tri. Itu wajahku.
Kudengar tetangga berbisik-bisik,
“Bagaimana bisa?”
“Kecelakaan. Bisnya selip lalu terguling,”
“Ya Allah… kok bisa ya… Messakke5..... Padahal Mbah Tri saja belum ada tiga hari meninggalnya.”
Aku bingung, duduk tak percaya. Lalu aku berdiri dan berjalan keluar. Kusadari, tak ada seorang pun tampak melihatku. Sepertinya benar itu jenazahku. Dari jauh kulihat sekelompok orang bermotor memasuki parkiran rumah. Kukenali mereka, sahabat-sahabatku. Kebanyakan mereka tampak menahan tangis.
“Urip wes wayahe
Uwong tuwo ayo mati wae
Udan gledek gedhe gedhe
Ati anyep ra ono kancane”
Hidup sudah waktunya
Orang tua lekas mati saja
Hujan gemuruhnya membahana
Hati dingin tidak berteman
Lalu tiba-tiba kudengar gandangan Mbah Tri. Aku menoleh kebelakang dan melihat Mbah Tri tersenyum memanggilku.


1sangu              : uang saku
2ngemong        : merawat
3gandangan     : nyanyian kecil (senandung)
4mbuh              : tidak tahu
5messakke        : kasihan
****
#cerpen #shortstory #original #sastra #literature #referensi #cerita #post #writing #writer

Jumat, 10 November 2017

RAIN

RAIN
London was rather quiet this day. Perhaps, it was because it had been rained all afternoon. Amanda, a girl who looked sweet in red sweater and brown hair, was sitting in the edge of the window of the TAP Coffee’s corner she used to be, looking at the people outside who many of them were running from the rain. A cup of hot coffee in her table had been served since a few minutes ago but Amanda still had no intention to drink it immediately. She was busy with her mind and the rain which reminded her of her experience when visiting Indonesia three months ago.
            It had been already a week for her in Semarang, the capital city of Central Java. It one of her destination city due to her tour in Asean country for hunting photos when she knew that little boy. Just like this day, it was also raining and she was standing in front of one of the historical building near a mosque in Kota Lama, one of famous tourist area of Semarang. Then she saw a little boy were walking along the street and offering an umbrella to the Kota Lama visitors (lately Amanda knew from his Indonesian friend that the offering-umbrella act was called ojek payung). It was an interesting, unique and unusual object for Amanda who had never seen that scene in London. She immediately took the picture of those scenes for her photography project in enthusiasm.
            Her curiosity was getting rising when she noticed that the little boy who still in his white-red uniform was the only little boy who were doing that offering-umbrella job in the area since as far as Amanda could see, the others offering-umbrella doer are adult. When the little boy came and sat next to her to take a rest, Amanda really wanted to ask the boy why he was doing the job but Amanda thought that it may be impossible for the boy could know how to speak in English.
            “Good afternoon Miss.” that small voice of a greeting was sounded from the boy. Of course Amanda was surprised to hear it.
            “Can you speak English?” asked Amanda to the boy. She was interested.
            “Little-little,” said him with a shy smile in her face and Amanda also smiled hearing it.
            “Why are you doing this?” said Amanda, pointed to his yellow umbrella. She hardly tried to choose the easiest word so the boy could understand.
            He was silent for a second. Amanda almost thought that the boy may don’t understand what she was saying but he finally answered,
            “I need money for my father” said the boy.
            At that time, what’s on Amanda’s mind was that the boy’s father was sick and the boy needed to help the financial need of his parents. But Kota Lama gave her another unusual experience. It happened that Amanda’s assumption about the boy’s reason for money was wrong and the true answer was greatly surprising for her. An unpredictable answer which is coming from the little boy had never come across her mind even once. She had never thought that there was an answer like that came from a little boy like him.
            The boy was fourth grader. His father was a parker and his mother's didn’t work because she had to take care of his sister who suffered brain system disorder. His grandfather was a veteran so he and his family were a little familiar with the English language because his poor grandfather often spoke in English.
            “Is your father sick or something?” Amanda asked him.
            “I need to earn money as much as possible so my father doesn’t need to work really hard so he can have a time for God.” answered the boy to Amanda.
            “How come?”
            “What miss?” the boy did not understand Amanda.
            “I mean, really??” Amanda tried to use another words so the boy may understand.
            “One night, I heard my father told my mother that he couldn’t do his duty toward God because God has given him so many problems in his life. He is too busy to deal with the problem so that he doesn’t have time for God.  He need to earn money as much as possible so he can make me become a success person and he also want to provide the best treatment for my sister.” he continued in a stammer voice since it is the longest English statements he ever had. And Amanda was almost crying hearing that boy’s explanation.
            Kota lama was still raining. Amanda was looking at the little boy from his head to toe. It made her got to tears because she didn’t find any expression of disappointment, sadness, or indisposed toward God and his father as well.
            The night of that day, Amanda couldn’t sleep at all. Her mind kept thinking about the boy she saw in Kota Lama.
            ‘How could there be a father like that? How could someone not have time to his God? Does it mean that he does not trust his God? If someone is not doing his duty to God, of course he's sinned and unfaithful, isn’t he?’
            Those questions kept disturbing Amanda all night. The boy and his family was a Muslim and Amanda was a Christian. Amanda did not too understand about Muslim and the religion. Over her life, she always thought that the differences between religions were only in the name of the religion and she believed that all religions taught the same thing that was to be faithful to God.
            The next day, on Friday, Amanda wanted to meet with the boy again and she planned to meet his father too. She went to the place when she met the boy. It was at 12.30 pm in Indonesian time. She was standing at the same place with the day before, in one of the historical building near a mosque. There were so many men in the mosque so she moved a little farther from there. She knew that there was a special time to pray for men who is Muslim in Friday. While waiting for the boy, there was an old man in about 50th years old came to her,
            “Is there anything I can help Miss?” the old man greeted her friendly.
            “Oh no, I’m just waiting for my friend.”
            This old man was not going to the mosque so she thought that he may not a Muslim. The curious Amanda could not restrain herself not to ask about what she had thought last night.
            “Ehmm, I’m sorry sir. But I want to ask you something, may I?”
            “What it is?”
            “A friend of mine knows a poor Indonesian man who doesn’t do his duty toward God because he’s too busy dealing his problem which is given to him like a rain by the God itself. What do you think about that as an Indonesian?” she asked very carefully because it was a sensitive topic.
            The man was smiling and answered,
            “When you work and your boss gives you a lot of works, will you dare to meet him if your works has not done yet?” The man threw another question back at her.
            "Of course I wouldn’t dare"
            "Perhaps, someone you’re talking about thinks the same" said the man.
            Amanda couldn’t say any word. She wondered if it could be put like the man said.
            “If he doesn’t do his duty, it doesn’t mean that the man you’re talking about do not believe in God. He may think that he can serve his God with another way.” said the old man again.
            Suddenly the old man shouted and pointed to the mosque where the Muslims had done with their pray.
            “Ah, here is my son” he said.
            Amanda looked over and realized that a son whom the man called was the boy whom Amanda was waiting for that day. The boy was coming from the mosque.
            “Hello again Miss,” the boy greeted her.

            Amanda was still staying at her seat in TAP Coffee’s corner and then drinking up the last gulp of her coffee. She was winding up her daydream of A BOY in Semarang three months ago and till now, she had not found the answer of her curiosity about it yet. The old man had given her his reason for his decision but still she couldn’t understand. She was clearing her stuff and preparing to leave the café when a middle-age waitress she used to know run into her,
            “Have you done?” said the waitress to Amanda.
            “Yes, I have,” She smiled to the waitress.
            “Is there any bad thing happens? I observed you and you doesn’t look really good my friend,”
            “Oh No. No, it is not like that. It is just some questions in my mind and I haven’t found their answer yet,” asked Amanda hesitantly.
            “Don’t think it too hard. Sometimes, life happens to be like that. Knowing the answer will only make it uninteresting.”
            “Why?”
            “Why not?” said the waitress in smiley expression.
***
##cerpen #shortstory #sastra #literature #writing #writer #post #original

Senin, 03 April 2017

"To wish was to hope and to hope was to expect"



-Jane Austen's Sense and Sensibility-

PENGHARAPAN


Mimpi-mimpi itu menjelma dedaunan di musim gugur
Harapan-harapan pun bak salju bertemu musim panas
Lelah dan kebas sudah hati dan seluruh jiwa
Tapi katanya aku masih tak boleh menyerah
LALU APA?
Segala cara sudah dicoba,
Semua pengharapan telah didoakan,
Tinggal janjai pada ayat ke-5 Al-Insyirah kunantikan
Entah kapan akan didatangkan
Hanya Tuhan pegang jawaban

Malam hari gelap gulita
Aku bercerita pada kunang-kunang
Sepoi pun turut mendengarkan
Diam diam
Mimpi-mimpiku yang semakin lirih tak terdengar

Sekawanan putus asa lalu menyusup
Mencabik keyakinan
Meneriakkan kegilaan

HENTIKAN!!
AKHIRILAH SAJA SEMUA!!
Mereka berteriak terlalu lantang
Hingga mimpiku semakin diam

Aku mengusir kunang-kunang
Lalu pergi kembali ke rumah
Kusaksikan kunang-kunang meredup

Hingga hilang di malam terakhirnya


#puisi #sastra #literature #karya #writer #indonesia

Jumat, 27 Januari 2017

CRITICAL READING: How Metaphor Can Give Meaning By Mark Lakoff and George & Johnson

How Metaphor Can Give Meaning
Review Teks “How Metaphor Can Give Meaning to Form”
Dalam mengungkapkan sesuatu, baik melalui bahasa lisan maupun bahasa tulis, kita menggunakan tata urutan linear, yaitu sebuah konsep bagaimana sebuah kata di ucapkan lebih dulu dari pada kata lainnya. Konsep ini berkorelasi dengan waktu dan secara metafora, waktu berkorelasi dengan ruang. Dari hubungan korelasi tersebut muncul konsep ruang yang dalam teks ini disebut sebagai spatial concept. Melalui konsep inilah, linguistik akan menjelaskan bagaimana korelasi bentuk kalimat metafora dengan isi yang disampaikan. Terdapat empat metafora umum dalam bahasa inggris yang dibahas dalam teks ini, yaitu;

More of Form Is More of Content
Ungkapan metafora diatas menunjukkan hubungan spasial antara bentuk dan isi. Linguistik sebagai wadah sedang isi dalam wadah tersebut adalah makna. Melalui konsep ini, muncul pengertian bahwa semakin besar wadah maka isinya pun semakin banyak; More of Form Is More of Content. Contohnya adalah kalimat He ran and ran and ran and ran. Kalimat tersebut memiliki bentuk yang lebih panjang dari bentuk kalimat He ran. Hal itu menunjukkan bahwa kalimat he ran and ran and ran and ran memiliki isi makna yang lebih dari sekadar dia berlari (He ran). Dari contoh tersebut ditemukan adanya pengulangan kata ran yang membuat kalimat itu memiliki bentuk yang berbeda (lebih panjang) dengan kalimat yang semestinya (He ran). Pengulangan tersebut berfungsi untuk menekankan makna yang lebih dalam dari kalimat yang hanya menggunakan satu kata ran dan satu huruf i.

Closeness Is Strength of Effect
Ungkapan metafora diatas menunjukkan hubungan spasial jarak yang memunculkan konsep bahwa kedekatan akan memberikan efek yang lebih kuat. Contohnya: Sam killed Harry dan Sam caused Harry to die. Di kalimat Sam killed Harry, hanya terdapat satu kata (killed) yang mengindikasi dua kejadian yaitu pembunuhan dan kematian. Sedangkan di kalimat Sam caused Harry to die, terdapat dua kata (caused dan die) yang mengindikasikan pembunuhan dan kematian. Hal ini menunjukkan adanya jarak antara sebab dan penyebab yang lebih dekat pada kalimat pertama, sehingga efek yang dimunculkan pun lebih kuat, sebagaimana metafora Closeness Is Strength of Effect. Melalui contoh kalimat tersebut, dapat diketahui bahwa metafor dapat diaplikasikan dalam kalimat sintaksis dan memiliki makna semantik.

The ME-FIRST Orientation
Cooper dan Ross (1975) telah melakukan observasi tentang cara pikir orang-orang pada umumnya. Konsep individual yang berlaku dalam kehidupan adalah bahwa pada hakikatnya manusia ingin selalu menjadi yang nomor satu. Untuk menjadi nomor satu, orientasinya adalah manusia harus memiliki peran yang “melakukan” bukan yang “diperlakukan”. Maka dari itu, manusia pada umumnya memiliki pemikiran untuk mendapatkan posisi “di atas”, maju “ke depan”, “melakukan”, dan menjadi “baik”. Itulah sebabnya kenapa kata “depan” berada sebelum kata “belakang”, kata “atas” berada sebelum kata “bawah”, kata “aktif” berada sebelum kata “pasif”, dan kata “baik” selau berada sebelum kata “buruk”. Orientasi ini mengarah pada metafora ketiga yaitu Nearest is First: yang terdekat yang utama. Contohnya dalam kalimat The first person on Bill’s left is Sam. Kalimat tersebut mengindikasikan bahwa Sam berada paling dekat dengan Bill, sebagaimana digunakannya kata first. Konsep ini juga berhubungan dengan konsep tata linear yang menentukan kata apa yang harus diletakkan terlebih dahulu.

An Instrument Is a Companion
Contoh umum dari metafora ini dapat ditemukan pada tingkah atau kebiasaan anak kecil yang berbicara kepada bonekanya. Boneka disini adalah sebuah instrument yang berperan sebagai teman main dari si anak. Contoh dalam bahasa tulis dapat dilihat melalui kalimat Me and my old Chevy have seen a lot of the country together. Dari kalimat tersebut dapat teridentifikasi bahwa Me dan my old chevy adalah instrument dalam kalimat tersebut, dan kedua instrument tersebut membentuk peran sebagai rekan; An Instrument Is a Companion.
Dalam grammar, kita bisa menggunakan preposisi with, in dan at untuk mengindikasi baik instrumen maupun companion. Preposisi in dan at yang mengacu pada keterangan waktu dan tempat sangat berkorelasi dengan konsep metafora spasial. Penggunaan presposisi in dan at ini berguna untuk menambahkan keterangan yang membuat bahasa tersebut dapat diterima secara logika. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat sebuah hubungan yang koheren antara konsep tatabahasa dan konsep metafor spasial An Instrument Is a Companion.
Kesimpulannya, kita dapat mengkonsepkan kalimat yang secara metafora memiliki konsep spasial dengan linguistik yang mampu memisahkan property spasial seperti jarak, bentuk  dan hubungan. Bahkan, metafora yang menjelaskan tentang orientasi tataurutan linear juga dapat menentukan bagaimana intonasi pengucapan sebuah kalimat. Sebagaimana dijelaskan diatas, keberurutan konsep linguistik hanya dapat terlihat jelas dan masuk akal saat ditunjukkan melalui metafora karena linguistik dan metafor memiliki hubungan secara spasial. Hal itu diperjelas dengan pernyataan Lakoff “In the other words, syntax is not independent of meaning, especially metaphorical aspects of meaning”. (Lakoff, 1980:138)
Empat konsep spasial metafor diatas yang telah dijelaskan melalui ilmu linguistik, akan sangat membantu dalam memahami pemakaian-pemakain metafora lainnya, khususnya dalam karya sastra. Sebagai contoh, dapat diambil dari kutipan puisi Alfred Lord Tennyson yang berjudul The Eagle;He clasps the crag with crooked hands”(Perrine, 1969:5). Dalam kutipan tersebut, Tennyson menggunakan metafora crooked hands untuk mengkiaskan bentuk cakar elang. Kutipan tersebut menunjukkan bahwa bentuk penggunaan crooked hands yang secara struktural lebih panjang (berbentuk frasa) daripada menggunakan kata claws untuk cakar, memberikan makna dan pengertian yang lebih mengenai bentuk dari cakar elang (More of Form Is More of Content).
Metafor yang berarti kiasan bukanlah sebuah kosakata yang asing dalam ilmu sastra. Metafora banyak sekali digunakan dalam gaya bahasa penulisan karya sastra baik itu puisi, prosa, maupun drama. Namun ternyata, pembahasan tentang metafor tidak hanya berhenti pada esensinya sebagai sebuah gaya bahasa dalam karya sastra yang berfungsi untuk memperindah bahasa sastra. Lebih dari itu, metafora dapat di analisis bentuk dan fungsinya melalui pendekatan linguistik. Melalui teks ini, Mark Lakoff menganalisis bentuk dan fungsi metafor melalui pendekatan linguistik untuk mendapatkan penjelasan yang lebih logis tentang bagaimana metafora dapat memberikan makna yang berbeda (makna kiasan).
Sumber:

Lakoff, George & Johnson. Mark. 1980. Metaphors We Life By. Chicago: The University of Chicago Press.

CRITICAL READING: The Organization of Personality By Calvin S. HalL

THE ORGANIZATION OF PERSONALITY

Introduction
In his text The Organization of Personality, Calvin S. Hall tries to explain more clearly about the psychoanalysis theory of Sigmund Freud. In this text, Calvin S. Hall mainly talks about the differences between the three majors of personality exists in human soul that are id, ego and superego. He does not only differ the three of them, but he also makes the real application of id, ego and superego in human activity.


Brief Summary of the Text
Human personality consists of three major systems that are id, ego and superego. The three systems are a unity which has to work cooperatively in harmony to fulfill the man’s basic needs and desires. On the other hands, if the id, ego and superego fail to work in balance, the man will be maladjusted.
Id is the primary source of psychic energy that means that the id is the primary subjective reality, the inner world that exists before the individual has had experience of the external world. The general function of id is to pursuit pleasure and to avoid pain. The id does not think because it does not consider about values, ethics, and morality. Ego is different with id because ego works as the secondary process. The secondary process discovers or produces the reality as the plan of action that has been developed through the thoughts or needs from id. If the id works to serve the pleasure principle, the ego works to serve the reality principle. Ego work to differ which one is fantasy or reality. While id works through pleasure principle and ego works in reality principle, superego works through morality principle. Superego is the moral or judicial branch of personality.
Although id, ego and superego have their own definition but as said in the beginning, they are a unity. They have different process but the process of them can be distinguished each other. The ego is formed out of the id, and the superego is formed out of the ego.

Evaluation

According to Sigmund Freud, in his existence, every man has personality which is divided into three parts that are id, ego, and superego. By the psychologist Calvin S. Hall in his text entitled The Organizational of Personality; these three parts of personalities are explained as major systems of personality which form a unified and harmonious organization in the mentally healthy person. Based on his text, these three parts have to work together cooperatively, so a man can fulfill his basic needs and desires. If id, ego, and superego fail in working cooperatively, a man will be maladjusted. However, we think that the opinion of Calvin that id, ego, and superego have to work in balance is absolutely right. We also appreciate that Calvin started his text by explaining the role of id, ego, and superego in human life before he explained them, so the reader know why understanding these 3 majors of personality is important.

In this text, by referring to the psychoanalysis theories of Sigmund Freud, Calvin Hall explained the differences between id, ego and superego in a clear way. In his explanation about Id, he started with the function of the id and how the id work. He said that id work through pleasure principle and its function is to avoid pain and to find pleasure. As refers to Freud, there is a primary process in the id. It is very great that instead of telling the definition of primary process, Calvin delivered the “meaning” of primary process by explaining it from the basic step and he also gave familiar examples which is very easy to be understood. He explained that before primary process there is the earliest form of id that is a reflex apparatus which can happen because of internal and external stimulation. The example of reflex apparatus from external stimulation can be taken from the action of closing eyes when seeing a bright light, watering of the eyes when foreign particle enter accidentally, and the action of sneezing when something irritates the sensitive lining of the nose. For the internal stimulation the example of reflex apparatus can be taken from the action of opening of the valve in the bladder when the pressure on it reaches certain intensity and the crying baby when he is hungry. When the baby’s needs of food aren’t fulfilled, the baby will experience some frustration and discomfort. Then, these experiences will stimulate the development of id called the primary process as the result of the frustration. Calvin also explained the differences process between the reflex apparatus and the primary process. He also explained very clearly many unfamiliar terms related to the process. In the end of his explanation of id, it is very good that he characterize the characteristic of Id in a simple language so the reader can understand it.
...............................................

The lack of Calvin’s text is that Calvin did not explain about the three levels of consciousness in human soul which is also contained in Freud’s concept about psychoanalysis. The three levels of consciousness in human soul consist of conscious, preconscious, and unconscious. He also did not mention in which of those three levels the id, ego, and superego should be exist.
................................................

Conclusion

..............................................


Source:


Hall, Calvin S. 1956. A Primer of Freudian Psychology. New York: The New American Library of World Literature, Inc.
"The Lord acts in mysterious ways, in ways we often can neither explain nor understand, tolerate nor bear."
( Cecilia Ahern, Thanks for the Memories 2009:38)

A veil hangs between the two opposites, a mere slip of a thing that is too transparent to warn us or comfort us. You hate now, but look through this veil and see the possibility of love; you’re sad, but look through to the other side and see happiness. Absolute composure shifting to a complete mess—it happens so quickly, all in the blink of an eye.

(Cecilia Ahern, Thanks for the Memories 2009:244)

PHP Semoga Bukan Hanya Sekadar Harapan Palsu

*Tulisan ini telah dimuat di Buletin Hayamwuruk Edisi VII, September 2013.


Semarang (09/2013). Gerutu, kesal, dan kecewa, hal tersebut mungkin sudah menjadi santapan sehari-sehari bagi para peserta Program Hibah Penelitian (PHP) 2013 Fakultas Ilmu Budaya  Universitas (FIB) Diponegoro, dalam beberapa bulan terakhir ini. Bagaimana tidak? Bantuan dana penelitian untuk PHP yang pendaftarannya sudah dibuka sejak 27 Mei lalu, tidak kunjung cair bahkan hingga jauh melewati waktu yang ditetapkan.
Arief Delta Riswanto, mahasiswa S1 Ilmu Perpustakaan 2012 yang juga salah satu peserta PHP menyuarakan kekecewaannya. “Yang jelas kecewa jelas. Ya namanya udah dijanjikan segini. Mau bagaimana pun yang namanya dana itu adalah penting. Transport dan lain-lain apalagi kalo kita membutuhkan apa istilahnya modal lain. Kita harus beli ini beli itu, kecuali kalau penelitian yang hanya mengandalkan lisan itu mungkin kan tidak banyak membutuhkan biaya. Jelas itu yang pertama tadi mengecewakan.” Ungkapnya


Erwan, mahasiswa Ilmu Perpustakaan 2011 sekaligus ketua Riset Club di FIB yang Tim Hayamwuruk temui di perpustakaan FIB pada Jumat (13/09) lalu juga mengakui hal tersebut. Ia mengungkapkan bahwa pencairan dana penelitian yang memakan waktu lama membuatnya merasa diberi harapan palsu, karena dana yang diharapkan dapat segera turun sebagai tindak lanjut atau respon dari penelitian yang mereka lakukan tidak kunjung dating kabarnya.
Pada akhirnya, Erwan dan peserta PHP lainnya pun bersedia legowo untuk memaklumi. “Itu, kendala birokrasi sih, kan kalau mau nurunin berapapun gitu, kan ini berhubung negeri ya, jadi musti ada laporannya juga, sampai surat, ada biaya pajaknya juga, Birokrasi, biasa.” Ujar Erwan memaklumi.
Sore itu juga kami lantas mencoba mencari konfirmasi dari pihak fakultas. Drs. Mujid Farihul Amin M. Pd. Pembantu Dekan III menjadi tujuan kami selanjutnya. Saat diwawancarai,  Mujid membenarkan bahwa dana memang belum dapat dicairkan karena SK (Surat Keputusan) Rektor belum turun. Ia juga mengungkapkan bahwa pihak fakultas sudah berupaya meninjau ke rektorat, tapi memang belum mendapat jawaban. Hal tersebut dilakukan karena nyatanya, meskipun pencairan dana pada tahun-tahun sebelumnya juga sering mengalami keterlambatan, tetapi tidak separah tahun ini. Jika tahun-tahun sebelumnya pihak fakultas dapat memfasilitasi penelitian dengan memberikan dana sebesar 60%, tahun ini hal itu tidak dapat dilakukan karena anggaran yang tersedia nol rupiah.
Meskipun kami telah mendapatkan penjelasan dari PD III, namun kami merasa belum puas. Pencarian informasi kami lanjutkan pada Selasa (17/9). Suasana kampus FIB yang sangat ramai mengawal kami ke kantor kemahasiswaan untuk menggali informasi lebih lanjut dari Drs. Abdul Ra’uf Mas’al, ketua panitia penelitian di Fakultas Ilmu Budaya. Ra’uf yang saat ditemui sedang menandatangani beberapa dokumen bersedia menerima kedatangan kami. Ia kemudian memberikan penjelasan mengenai dana penelitian di FIB yang hingga saat ini belum dapat dicairkan. “Ini sampai sekarang belum ada yang turun kok. Kegiatan Hibah Penelitian, LKTI, apa itu, karya tulis Ilmiah, proposal adek-adek mahasiswa itu belum, terus apa, PMB karakter, terus..alah-alah belum ada yang keluar pokoknya,”
Ketika ditanya mengenai penambahan kuota pendaftaran yang naik 33% dari tahun sebelumnya, yaitu jumlah peserta yang awalnya terdiri dari 15 kelompok ditambah menjadi 20 kelompok.. Ra’uf mengungkapkan bahwa penambahan kuota tersebut berdasarkan dana anggaran yang juga bertambah. “Anggaran kita bertambah, itu kan per anak kita kasih satu juta. Kalau anggaran bertambah, maunya kita jangan 20, tapi 100. Tapi mahasiswanya itu yang nggak ada, yang mengajukan itu yang nggak ada. Kita kasih 20-an aja itu yang daftar hanya, dan itu judulnya juga tidak menunjukkan sebagai seorang  intelektual.” Terang Ra’uf lebih lanjut.
            Mendengar kenyataan tersebut, muncul pertanyaan dibenak kami. Jika anggaran yang diterima bertambah, kenapa pihak panitia lebih memilih menambah kuota dibandingkan menambah jumlah dana per penelitian? Pertanyaan tersebut timbul dikarenakan adanya kemungkinan bertambahnya minat penelitian di kalangan mahasiswa FIB jika jumlah dana per penelitian bertambah.
Menjawab pertanyaan tersebut, Drs. Ra’uf memberikan penjelasan lebih lanjut “…Kan ada itu. Bukan untuk dibagi-bagikan, peraturan SK Rektor kan per-orang 1 juta, nanti kali 17 umpamanya, 17 juta, 3 juta kan dikembalikan ke negara … Target kita 20, yang masuk 17 itu kan udah pasti. Mau nambah, yang nambah siapa? Wong nggak ada SK Rektornya. Ya nggak bisa.”
Tidak Hanya Terganjal Dana
            Beberapa peserta PHP yang tim Hayamwuruk wawancarai sepakat mengatakan bahwa macetnya dana penelitian membuat kinerja mereka turut menjadi macet. Meskipun begitu, menurut Marya Rasnial, Wakil Ketua Riset Club FIB, semangat penelitian dari mahasiswa tahun ini mengalami peningkatan.
Namun hal tersebut berbeda dengan pendapat Ra’uf. Menurutnya, kisah penelitian di FIB belum mengalami progress yang berarti. Selain dikarenakan masalah dana yang belum jelas, minat mahasiswa FIB untuk melakukan penelitian masih rendah. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya mahasiswa yang mengajukan proposal dengan judul yang dinilai kurang ilmiah.
“Keterbatasan ilmu, yang nggak menguasai, padahal kita mengadakan pelatihan terus, pelatihan penulisan ilmiah, pelatihan karya tulis ilmiah. Kita juga udah dua kali ini mengadakan pelatihan. Tapi mahasiswanya itu sendiri, apa ya, semangatnya untuk menulis itu saja udah nggak kompetitif. Mulai dari wirausaha juga nggak ada yang wirausaha. Nggak ada. Dari mahasiswa sendiri kurang.
“Kita sudah melakukan penelitian-penelitian, proposal-proposalnya semuanya ada. Kita berpikir, berpikir terus. Tapi dari hati mahasiswa itu. Ya gitu, kurang anu lah, kurang peduli. Kayak semacam mainan gitu, padahal dengan harapan dengan kita nulis itu nantinya kita bisa lomba ke tingkat nasional. Bahkan kami menjaringnya lewat beasiswa. Kalau udah mengajukan beasiswa, mengajukan proposal, dengan harapan kita punya bibit-bibit yang mumpuni gitu lho, dan layak untuk dibicarakan… judul yang luas, lugas dan dapat diterima orang banyak, dan betul-betul bisa digunakan untuk acuan ke tingkat nasional.” Tegas Ra’uf.
Hal yang diungkapkan oleh Ra’uf nyatanya memang selaras dengan fakta yang Tim Hayamwuruk temukan di lapangan. Fadli Ikram, mahasiswa Sastra Inggris 2011 mengatakan bahwa motivasi utamanya mengikuti PHP adalah karena nominal uangnya, bukan karena semata-mata ingin melakukan penelitian. Dia juga turut mengiyakan fakta bahwa minat untuk meneliti di FIB sangat rendah. Menurut pengalamannya sendiri, dari 161 mahasiswa sastra Inggris angkatan 2011, hanya 4 orang yang mengikuti PHP.
Permasalahan mengenai minat penelitian bagi kalangan mahasiswa di FIB tidak hanya berhenti disitu saja. Belum tersedianya sarana untuk publikasi hasil penelitian mahasiswa membuat para mahasiswa seolah enggan untuk melakukan penelitian. Mimpi para peserta PHP agar naskah penelitian yang mereka kumpulkan dapat dipublikasikan atau dibuat Jurnal Ilmiah pun tampaknya masih jauh dari harapan.
Memang tidak mudah untuk membuat suatu publikasi hasil penelitian. Ra’uf sendiri menjelaskan bahwa hasil penelitian mahasiswa seperti PHP akan disimpan sebagai arsip fakultas. “Jadi arsip fakultas, nggak akan kemana-mana. Ya..dipublikasikan dananya ndak anu... Apa Anda mau jamin bisa diterima? Nggak gampang jurnal itu, tapi kan ada sertifikat bahwa pernah ikut ini. Masuk jurnal opo? Masuk jurnal itu nggak gampang lho ya, enak. Dosen mau bikin jurnal Internasional aja dananya ratusan juta aja nggak keluar. Hibah penelitian itu kan masih dasar sekali,  belum mengarah ke akarnya kan belum. Masih sifatnya, apa ya, pelatihan mereka. Jadi untuk masukkan jurnal itu ya… ya paling baru semester berapa sih yang ikut? “Jelas Ra’uf saat disinggung mengenai kelanjutan naskah penelitian yang telah diterima fakultas.


AEC: ASEAN ECONOMIC COMPETITION

*Tulisan ini telah dimuat di Buletin Hayamwuruk Edisi I, Desember 2014 dalam Rubrik English Corner

December 2014 is almost over and we will face 2015. Perhaps, there are no many people remember what we will actually face after celebrating the New Year 2015. They may not remember or maybe they do not realize that there will be something quiet important happens in 2015. It is AEC, ASEAN Economic Community. AEC is a huge program of ASEAN which have been already prepared for the past eleven years since the 9th meeting of KTT ASEAN in Bali. AEC, which implementation is officially based on ASEAN Economic Community Blueprint, will promise the openness of job vacancy in all country grouped in ASEAN. As mentioned in ASEAN official website, AEC has four characteristics that are a single market and production base; a highly competitive economic region; a region of equitable economic development; and a region fully integrated into the global economy. Then, a question arises of knowing the AEC; is AEC good news or bad news for Indonesia?
In one side, ASEAN Economic Community may be a good news for Indonesia. It is because AEC promises the openness of job vacancy, development of business, and entrepreneurship expanding. It will provide a lot of opportunity to get a job not only in Indonesia but also in foreign countries. It also sounds very interesting opportunity for college graduate student because it will not be too hard to get a job in others countries. AEC will be a facility to make a free movement of goods, services, investment, skilled labour, and free flow of capital for all countries grouped in ASEAN. Interpreting those purpose and beneficial effects of AEC will make Indonesian people be happy about the easiness in developing their business. Of course, AEC will also minimize the possibility that Indonesia will experience an economic crisis like in 1998.
If we look at AEC by a far-arranging point of view, we will find that AEC is a very beneficial program for Indonesia. Though, if we deeply look at the AEC Blueprint, we will find something to be worried about. It is the second point of the Blueprint characteristic; a highly competitive economic region. A highly competitive economic region clearly means that we must compete others countries in joining AEC. However, there are many things which have to be considered in order to face and compete others countries in AEC, such as our readiness and our preparation. Do we ready for AEC? Is our preparation good enough for AEC? AEC may be officially held in the end of 2015, but are twelve months is an enough time for us in preparing the AEC? Those questions can only be answered by us at the part of country which joins the AEC.
AEC does not only mean the openness of job vacancy, development of business, and entrepreneurship expanding, but it means that we need to compete in order to achieve it. AEC will not only be facilities for the economic community of ASEAN but it also will be an economic competition between one to others countries in ASEAN. All people must know that in joining a competition we need to have a lot of abilities. If we, as the Indonesian people, do not have enough abilities to face AEC, AEC will only give a very big loss for us which means a very bad news for Indonesia.
For example, the openness of job vacancy does not only make a possibility for us to get a job in another country, but it also make a possibility for foreigner to get a job in our country. If we do not have more abilities and special skill, we will not able to compete in AEC. There was a true story that an undergraduate man from India came to Indonesia and he joined in a TOEFL test. His reason is he wanted to get a TOEFL certificate for applying a job vacancy to be a TAXI driver in Indonesia.
According to the story above we can imagine that AEC will be a hard economic competition for Indonesia. The story may make undergraduate people in Indonesia imagine such a horrible thing. Indonesia has a fantastic number of unemployment, so what if the existence of AEC program will only increase the amount of unemployment?
AEC can also be a very dangerous program for Indonesia because of the Indonesian habits. Indonesian people are very consumptive people and they also prefer to choose and use foreign goods. However, if the habits cannot be controlled, AEC will be only beneficial for foreign country because there will be a lot of foreign products are sold in Indonesia. That situation will stub out the local products of Indonesia for sure.
Actually, ASEAN Economic Community is a good chance for Indonesia to expand Indonesia’s business, to show about Indonesia’s wealth and culture, and to open up employment opportunities as many as possible. Though, those purposes will be able to be achieved if Indonesia has a power to compete in AEC program. The preparation in this last twelve months will be a very important time for us. So, as the college student of humanities who will also take a part in this competition, what have you prepared guys?