Minggu, 18 Agustus 2013

On my way

I remember years ago,
Someone told me I should take
Caution when its come to love, I did, I did
You was strong and I was not
My illusion,my mistake
I was careless, I forgot, I did, I did..
Lagu berjudul Imposible oleh alunan suara merdu Maddi Jane, menemani perjalananku kembali ke Semarang. Entah kebetulan atau tidak, bis yang kudapati sore ini adalah bis yang sama yang membawaku kerumah beberapa hari lalu. Bis yang sama pula dengan yang dulu memberikan 150 menit untuk mempertemukanku dengannya.
Aku sedang duduk di bis jurusan Semarang-Surabaya ketika suaranya menyapaku. Kala itu, seperti biasa adalah jadwalku untuk pulang kerumah setelah 3 minngu berada di Semarang. Kuliah.
            “Ndah Zum..??” dia bilang. Dan aku yang merasa dipanggil pun langsung menoleh dan pun langsung menganga kaget. ‘Bagaimana dia bisa ada disini?’
            “Rama???” sahutku. Dan dia lalu tersenyum. Membuyarkan semua tanya di otakku. Mengusir semua pertanyaan. Merobohkan dinding ketenanganku.
            Dia lalu mengambil duduk di sampingku. Dan aku hanya diam memperhatikan. Linglung. Ya,aku pasti tampak sangat linglung dan konyol kala itu. Bagaimana tidak? Dia yang duduk di sampingku ini,dan juga yang sekaligus telah menyapaku ini adalah…
            “Piye kabare??” dia bertanya.
            “Alhamdulillah” jawabku tanpa berani menatapnya. Aku benar-benar ragu bahwa ucapanku tadi terdengar wajar. Aku pikir pasti ada nada getar dalam intonasinya. Tentu saja karena aku tengah benar-benar gugup.
Sepanjang perjalanan aku tak sanggup bergeming. Aku benar-benar mati gaya. Keringatku meluap. Deg-degan  tak karuan.‘Ya Allah…’ sebutku dalam hati terus-menerus. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bersikap sebiasa mungkin, Tapi sekali lagi aku sanksi aku bisa tampak seperti itu.
            “Kuliah dimana?” dia mulai membuka percakapan lagi. Mungkin merasa aneh terus diam dengan “kawan” lama.
            “UNDIP” jawabku, “kamu Ma??” tanyaku kemudian masih dengan pikiran tak karuan. “Aku di POLRI” jawabnya. Aku tidak kaget. Karena sesungguhnya aku sudah tahu dia melanjutkan kuliah dimana.
            “Jurusan opo?” dia lanjut bertanya. “Sastra Inggris” jawabku. Kali ini aku yakin aku sudah mulai bisa menguasai diri. Aku menoleh memberanikan diri memandang. Deg. Dia tersenyum. Lagi. Dan aku hampir pingsan dibuatnya.
 ‘ah..Ya Allah..betapa aku rindu senyum dan tatapan itu..’
            Setelahnya,dia diam. Begitu pun aku. Entah apa yang dia pikirkan atau nikmati aku tak tahu. Aku tak berani berpaling ke arahnya terlalu lama. Aku setia menatap keluar jendela bis. Sibuk dengan pikiranku sendiri. Menikmati sensasi.
Perjalanan terasa begitu panjang. Namun, tanpa kusadari aku bersyukur karenanya. Entah bagaimana ekspresiku saat itu aku sama sekali tak bisa membayangkannya. Selanjutnya, aku mulai berani untuk sekali-sekali melirik. Berusaha menangkap wajahnya yang selalu saja mampu membuatku terus suka. Tapi,ada sedikit rasa kecewa setelahnya. Dia tampak biasa-biasa saja. Dan itu membuatku merasa semakin konyol sendiri karena telah grogi setengah mati.
Demak sudah lewat, sepertinya sejak tiga puluh menit yang lalu. Aku menoleh. Memastikan dia masih ada di sampingku. Aku tersenyum. Lega.
Tapi setelahnya,entah kenapa waktu jadi memperpendek lamanya. Tiba-tiba saja sudah sampai Pati, lalu Juwana. Deg. Ini waktunya.
Aku menoleh bertepatan dengan dia yang juga menoleh untuk berpamitan. Aku menoleh juga karena aku tahu dia akan turun disini. Dia menjabat tanganku.
“Duluan yo!!?” diabilang. Aku hanya tersenyum sendu dan mengangguk. Speechless.
 Dia bangkit dan beranjak pergi. Aku menatap punggungnya menjauh. Lalu dia turun dari bis. Masih kuikuti. Aku menatapnya dari balik jendela bis. Jujur saja dengan setengah harapan dia akan menoleh. Tapi itu tidak terjadi. Dia terus berjalan. Begitu juga dengan bisku.
 Kuhela nafas panjang.Usai sudah. Dia sudah pergi. Aku memandang ke kursi di sebelahku. Rama sudah tidak ada. Sudah tidak duduk disana lagi. Aku menangis. Aku tidak tahu tepatnya karena apa. Entah karena senang telah bertemu dengannya lagi setelah sekian lama. Atau entah karena menyesal karena tak bisa banyak berinteraksi dengannya tadi. Entah karena begitu rindu dengannya, dengan senyumnya yang seketika membuat pertahanan hatiku roboh, atau entah begitu gembira mendengarnya menyapaku sebagaimana dia dulu menyapaku. Entah karena aku tak sempat benar-benar menatap wajahnya untuk menuntaskan kangen,atau aku menangis karena aku sedih dia pergi lagi. Atau juga entah karena kecewa dia tampak biasa-biasa saja, yang berarti hatinya belum juga menoleh padaku. Entahlah..aku benar-benar tidak tahu. Mungkin semua alasan itu benar. Semuanya. Tanpa kecuali.
 Pertemuan dengan seorang yang telah kusukai sejak SMP, pertemuan yang juga pernah kuimpikan dan kubayangkan sebelumnya. Tapi,aku masih saja tak berkutik ketika harapan itu benar terjadi. Masih saja tidak siap. Sedih harus menyaksikannya pergi lagi. Sedih karena setelah lima tahun menata hati kini aku harus mulai dari awal lagi. Tapi,lebih banyak dari itu, aku jauh lebih bahagia telah bertemu dengannya. Lagi. Mendengar suaranya menyapaku seperti dulu.
Aku terus menangis. Air mataku benar-benar tak mau berhenti. Ku usap tapi ada dan ada lagi. Sepanjang perjalanan yang tersisa…..

***

Sendiri



Ramai yang berrnyanyi pun tak berani membunuh sepiku
Lantas, siapa yang akan membantu?
Membantu menyulut api biar terang
Membantu meniup bara biar hangat
Juga, mebantu meredam sepi, jika bisa

Tak apa bila tak ada, akan kulakukan sendiri
Kusulut sendiri, biar terang sendiri
Kutiup sendiri, biar hangat sendiri
Meski tak bisa meredam sepi sendiri

Sudah terlalu lama hingga tak dapat terartikan
Aku? masih tetap sendiri
Rasa itu ? entah sudah tidak, masih setengah atau utuh aku tak tahu


HUJAN!!
Ini dia yang dirindu
Harum tanah disiram hujan
 Menyeruak diantara rerumputan
Ini dia yang ditunggu
Merdu batu dipukul hujan
Berbunyi indah diantara dingin alam

ANGIN!!
Angin selalu tahu, kapan mulai kapan berhenti
Angin selalu tahu, kemana arah bertiup
Angin selalu tahu, bagaiman harus berhembus
Angin juga selalu tahu, apa menjadi sepoi atau menjadi badai
Tapi angin tak pernah tahu,

Ketika api harus padam atau membakar

PERANG KUASA



Gaduh mulai mengadu
Bernyanyi bising, memekakkan telinga
BOSAN! Aku bosan!
Karena hanya itu yang selalu terdengar

KACAU!

Kaca-kaca berteriak pecah
Kayu-kayu meja berdesah kasar
Bising. Memekakkan telinga
Lantai-lantai pun berdecit pasrah

Saling beradu. Saling berkicau
Saling berebut. Saling memaksa
Apa? Tentang apa?
Apa tahta? Apa kuasa? Uang?

Sampai pagar tersapu angin terkelupas
Sampai abu tertiup jadi debu
Masih saja! Apa masih tentang tahta? Kuasa? Uang?
AMBIL! Ambil aku tak butuh!

Aku butuh pedulimu bukan uangmu
Aku butuh adilmu bukan kuasamu
Aku tak butuh simpatimu, aku butuh empatimu
Aku butuh tatapan bukan mata

Sampai besi penuh karat
Sampai kayu penuh rayap
Hingga pesan ini tinggal kerak

Masih saja…

Kata Memang Harus Terucap



Ruang lingkup yang sempit menghimpit,
Memenjara waktu dalam sepi yang tak henti
Membiarkannya bingung memutar ruangan mencari tempat bersemayam

Dia, si roda makna yang berputar tanpa poros
Dia, sejumput pasir yang tak bertanah
Dia, sepasang mata mewakili kata

Ketika keangkuhan merajai udara, kata kelu tak terurai
Memang, tak akan cair tanpa ada yang mencairkan
Memang, tak akan terucap tanpa ada yang mengungkapkan

Tak perlu warna untuk melukis
Tak perlu batang untuk menopang

Hanya butuh waktu…..mewakili