Minggu, 14 Januari 2018

PRASANGKA

Prasangka
By Indah Zumrotun
Ada remah roti tertinggal di meja. Semut mengambilnya satu-satu. Yang tersisa di ruang makan hanya Ayu. Yang lain sudah bubar bersama urusannya masing-masing. Pembicaraan dengan Ibu beberapa hari lalu masih menggantung. Ayu memikirkannya tapi tak mengatakannya. Rasanya Ibu pun sama. Dan di meja makan pagi ini pun semua bisu. Ibu diam, Bapak apalagi. Tergesa menyelesaikan sarapannya lalu pergi. Ayu tak pernah tahu bagaimana pendapatnya perihal masalah ini.
Sekitar tiga hari yang lalu, suasana rumah persis seperti pagi ini hanya saja waktu itu sore hari. Sepi hanya ada Ayu dan Ibu,
“Yu, tadi Mbak Runi kemari,” ucap Ibu sore itu. Langit desa remang, paduan antara senja dan mendung.
“Lalu?”
“Ada lamaran datang,” Ibu menjawab dengan ringan, masih sambil melipat baju sejak tadi.
Ayu diam. Mengernyitkan dahi dan menoleh pada Ibu. Ibu pun akhirnya menghentikan aktifitas dan balas menoleh. Mencoba menerjemahkan respon yang tersirat di raut wajah Ayu.
“Ada lamaran, untukmu, dari seorang lelaki,”
“Siapa?” Tanyaku dengan nada yang dibuat begitu natural dan cool meskipun hati terkejut minta ampun.
Lalu begitulah, obrolan sore itu mengarah pada seorang lelaki bernama Harun. Mas Harun sebenarnya satu desa dengan Ayu, namun Ayu yang 4 tahun ini kuliah di luar kota tentu saja tak pernah tahu menahu. Jangankan mengenal wajahnya, mendengar namanya saja baru kali itu. Menurut Ibu, Mas Harun mungkin berusia 30 tahunan, sudah bekerja, tamatan STM, tak terlalu pintar bergaul dengan perempuan. Ibu Mas Harun sedang sakit.  Dia ingin segera menikah sebelum hal buruk terjadi, sebagai pemenuhan mimpi terakhir Ibunya.
Lengkap sudah, kabar itu menutup malam Ayu dalam kegalauan. Sesungguhnya Ayu tidak anti dengan perjodohan, toh banyak juga ta'aruf yang berhasil bahagia. Selama ini bukan hanya satu dua kali dia berpikir untuk nantinya minta dicarikan saja calon suami oleh Bapak dan Ibu lantaran kisah cintanya yang sedikit amburadul. Tapi entah kenapa datangnya kabar ini justru bagai halilintar. Ayu pun tak tahu apa yang membuatnya bimbang.
‘Jika bukan masalah perjodohan, lalu apakah masalah latar belakang pendidikannya? Banyak juga orang tak kuliah bisa meraih sukses dan malah sebaliknya. Jadi tak seharusnya aku memandang rendah hanya karena dia hanya tamatan STM dan aku perguruan tinggi. Lalu apa? Belum kenal? Semua hubungan dimulai dengan perkenalan kan, lantas apa salahnya? Kurang ganteng? Ahh aku bukan tipe orang yang menilai karena penampilan fisik. Toh aku juga bukan perempuan yang molek kan? lagipula bertemu saja belum.’ sepanjang malam Ayu terus bertanya-tanya. Kemudian semua excuse itu mengarah pada satu hal.
Ayu memang butuh pasangan. Hidupnya yang melelahkan membutuhkan lelaki untuk paling tidak membuatnya tersenyum barang satu detik. Dia tidak butuh lelaki berharta seperti Mas Bayu, suami kakak pertamanya. Dia tidak butuh lelaki seganteng Mas Taufik suami kakak keduanya. Bukan yang tampan, bukan yang kaya, dan tak harus sangat pintar tetapi yang mampu menjaganya tetap tersenyum meski di tengah duka sedalam apapun. Dan kata Ibu, Mas Harun tak pintar bergaul dengan perempuan.
Pikiran Ayu membayang, sudah siapkah aku dengan pernikahan? Secepat ini? Apa itu pernikahan? Haruskah aku menikah? Lantas bagaimana dengan mimpi-mimpi yang belum terwujud? Dengan karir?’ Hal-hal yang tak terpikir sebelumnya pun datang bertubi-tubi.
“Perempuan memang pada akhirnya pasti berakhir di dapur dan rumah tangga, tak ada yang lain. Ibu bilang apa, buat apa sekolah tinggi-tinggi? Dulu seumurmu Ibu sudah punya kamu. Lha kamu, punya pacar saja belum.” Kata Ibu suatu waktu. Bapak ada di sana, namun seperti biasa, beliau hanya diam. Menyimak tak bersuara. Bapak memang selalu pendiam dengan urusan-urusan seperti ini, seolah tak peduli. Jika ditanya pun, jawabannya hanya satu, “Terserah kamu.” Dulu waktu memutuskan jurusan untuk kuliah juga begitu.
“Tapi kan, aku mau nyari kerja dulu Bu.”
“Sampai kapan?” Aku lantas terdiam.
Huff katanya emansipasi. Katanya wanita sudah setara dengan lelaki. Tapi masalah memilih bekerja atau berumah tangga saja masih jadi pilihan wanita. Tidak bisakah perempuan menjadi pihak yang memilih? Tidak melulu dipilih dan menanti, menanti dan menanti.
Sosok seperti apa yang akan datang pada Ayu melalui pembicaraan dengan Ibu pun masih misterius. Katanya sudah mature dan mapan. Hmmm bisakah?
 ***
Adzan magrib belum lama berlalu. Udara dingin menusuk-nusuk, memaksa orang untuk langsung meringkuk bergumul dengan kasur. Ayu baru saja meletakkan Qur’an yang dibacanya ketika ponselnya berbunyi. Sebuah sms dari nomor tidak dikenal.
Assalammualaikum.’ Hanya itu. Ayu tertegun. Maksud hati dia malas membalas dan meladeni pesan-pesan tidak jelas seperti itu. Namun akhirnya Ayu membalas juga, sekadar ingin tahu dia siapa. Siapa tahu dia….
‘Walaikumsalam.’ Jawab Ayu singkat. Lama ditunggu, tak ada balasan lagi. Dan percakapan dengan nomor tidak dikenal pun hanya sampai disitu.
Malam berikutnya sms datang lagi, nomor yang sama,
‘Assalamualaikum.’
Kali ini Ayu menerimanya dengan sebal. Batinnya keki juga karena merasa dipermainkan. Maka kali ini dia pun menjawab ketus,
‘Walaikumsalam. Ini siapa si?’ satu menit kemudian smartphonenya berdering lagi tanda pesan masuk.
‘Harun.’ Singkat, padat, dan jelas. Dalam hatinya Ayu menggerutu, ‘ini cowok ngga ada basi-basinya ya. Nyebelin banget sumpah.’ Ayu yang pada dasarnya memang sedikit antipati (over-selective) pada cowok sama sekali tidak mendapatkan first impression yang menarik. Boro-boro good first impression, sebal sekali malahan. Dalam hati dia memutuskan, ‘ngga bisa nih. Ini cowok ngga bisa nih buat aku. Ngga cocok banget sama karakterku. Kaku gini pasti mem-bo-san-kan.’ Rutuknya dalam hati.
Ingin sekali dia tidak membalas, tapi ini bukan lagi tentang dia dan seorang lelaki tak dikenal yang biasa. Ini menyangkut keluarga. Maka ditahanlah perangainya yang suka semaunya, dan dijawablah pesan itu oleh Ayu demi menjaga nama baik. Nama baik siapa? Entahlah.
‘Oh mas Harun. Ada apa?’
‘Ayu apa kabar?’
‘Alhamdulilah.’
Satu menit. Dua menit. 15 menit. 30 menit. 2 jam. Dan hingga Ayu memeriksa ponselnya untuk yang terakhir kali malam itu sebelum berangkat tidur, tak ada balasan lagi dari Mas Harun. Hatinya kecut, ‘Sialan ni orang. Yang butuh siapa si sebenernya. Udah dikasih respon baik malah gitu. Awas aja, kutolak baru tau rasa.’
Perihal komunikasi via sms ini pun dia sampaikan ke Bapak Ibunya pagi-pagi di meja sarapan. Ada Bapak, tapi seperti biasa diam saja. Seolah beliau punya dunia sendiri yang tidak seorangpun bisa menebak apa yang akan beliau lakukan sedetik kemudian.
“Bu, mas-mas yang itu ngirim sms.” Ayu membuka percakapan di meja sederhana yang lebih mirip meja persidangan.
“Mas-mas siapa, to?” sahut Ibu sambil mengernyitkan dahi. “Ooo… Harun??’ jawab Ibu sedetik kemudian seolah bisa menebak meski Ayu belum mengatakannya. Ayu membalas dengan anggukan. Terlihat Bapak sedikit tertarik, tapi masih diam. “Sms gimana?” tanya Ibu.
“Aneh. Bilang assalammualaikum saja, terus kubalas malah ngga dibalas lagi. Sebal aku,”
“Lha namanya juga ngga pandai bergaul dengan perempuan.’
“Ah embuh lah.” jawab Ayu kesal.
“Kamu harusnya lebih ngerti. Lha gimana kamu mau ngga?”
“Tapi apa Ibu sama Bapak ngga ingin aku sukses berkarir dulu. Buat apa kuliah mahal-mahal…”
“Ya Ibu sih terserah kamu, Ndhuk. Tapi Ibu heran lho, kok bisa kamu di lamar sama anak orang yang “bernama” di sini. Menurut primbon jawa, perhitungan tanggalmu dan tanggalnya juga cocok banget lho. Kalau jadi kan bisa ngangkat nama baik keluarga. Ya memang si selisih umurnya lumayan, 7 tahun. Kalau dulu Ibu sama Bapak selisihnya 10 tahun. Tapi ya keputusan ada di kamu,”
Ayu cuma bisa memandangi Ibu dengan kernyitan dahi yang berlipat-lipat. ‘Maksudnya apa?’
Dan begitu lah, perbicangan tentang lamaran itu pun masih berakhir menggantung.
 ***
Dua malam setelah sms yang terakhir kali, Mas Harun kembali mengirim sms. Kali ini percakapan Ayu dengannya sedikit lebih panjang. Lewat percakapan pesan singkat itu mereka memutuskan untuk bertemu, lusa.
Sesungguhnya, Ayu sudah memutuskan apa jawaban yang akan dia berikan pada Harun. Ayu sudah cukup bisa mengira-ngira, menilai dan menyimpulkan bagaimana karakter lelaki itu. Ayu sudah memutuskan, tapi tidak ingin memberi tahu Bapak Ibunya. Nanti saja ketika lelaki itu datang kerumah, pikirnya.
Tahu lelaki itu akan datang kerumah, Ibu tampak senang. Meski hanya tersirat, tapi Ayu tahu Ibu bersemangat. Dalam hati dia merasa tak enak, ketika melihat Ibu terlanjur senang sedangkan sebenarnya dia akan menolak lamaran itu. Bapak masih diam saja, tidak berkomentar apa-apa. Meski sering berkumpul dan membicarakan banyak hal, tapi tak sekalipun Bapak menyinggung masalah lamaran ini. Pernah Ayu mendengar Ibu mencoba bertanya kepada Bapak, tapi jawaban Bapak hanya “Terserah Ayu saja,”
Hari H datang juga. Ayu bersiap. Deg-degan juga dia. Ini kali pertamanya menghadapi hal seperti ini. Komat-kamit dia membaca bismillah, memantapkan hati menguatkan tekad. ‘Bukan. Ini bukan tentang latar belakang pendidikan. Apalagi tentang paras. Ini tentang mas Harun yang membosankan.’
“Tidak. Aku belum siap menikah.” Itu kalimat yang dipersiapkannya. Sisanya impromptu saja.
Pukul 7 malam, mas Harun sampai di rumah. Ibu yang membukakan pintu. Bapak ikut keluar dan mereka bertiga duduk di ruang tamu. Ibu tampak ramah sambil menyembunyikan rasa sumringah. Beberapa menit kemudian Ibu memanggil Ayu keluar.
Ayu keluar kamar, mencoba sedemikian rupa agar terlihat tenang dan biasa saja. Dia mengarahkan matanya keseluruh ruangan, dan menemukan yang namanya Mas Harun. Dilihatnya seorang lelaki duduk menghadapnya. Tubuhnya tinggi, badannya tidak gemuk dan tidak kurus. Potongan rambutnya cepak rapi, kulitnya sawo matang, ada 2 jerawat di wajahnya. Mas Harun mengenakan kemeja kotak-kotak merah lengan panjang yang digulung sesiku, dengan jeans biru navy dan sepatu kets putih.
Ayu terpana, apa yang dihadapannya jauh berbeda dari bentuk rupa penampilan mas Harun yang ia rencanakan. Mas Harun yang kini di hadapannya tampak kekinian dan menarik. Senyumnya ramah, air muka nya menyenangkan.
‘Mungkinkah sms-sms yang lalu hanya kesalahan?’ gumamnya dalam hati. ‘Tidak. Ini tidak boleh. Aku harus mencoba dulu saja, tidak bisa kuputuskan malam ini. Ya, begitu saja. Untung belum terlanjur’
Ayu duduk sambil menahan senyum malu akan pikiran-pikirannya selama ini. Juga atas keputusan yang akan dia katakan.
“Tapi maaf nak Harun. Ayu belum bisa menikah dulu, dia ingin mengejar mimpinya, ingin berkarir dulu. Dan Bapak mendukungnya,”
Tiba-tiba ditengah kecamuk pikiran di hati dan otak Ayu yang ingin menunda keputusannya untuk bilang tidak, Bapak angkat bicara… membungkam semua angan-angan.
****
#cerpen #shortstory #sastra #literature #writer#cerita