Minggu, 01 April 2018

Perempuan Berambut Emas

Perempuan Berambut Emas
By Indah Zumrotun

Namanya Lian, kawanku semasa kecil. Dulu saat kami masih sekolah di SD yang reot itu, Lian gadis yang lincah. Kulitnya sawo matang karena sering bermain bersamaku dan anak laki-laki lainnnya. Disini jarang anak perempuan. Mereka yang punya anak perempuan pasti langsung pindah. Lian dan Ibunya saja yang masih bertahan di komplek kumuh ini. Dan yang bukan hanya kumuh, tapi juga “remang-remang”.
10 tahun lalu, selepas kelulusan SD aku pindah ikut pamanku ke kota yang lebih besar. Masih kuingat Lian menangis dengan keras saat aku berpamitan.
“Kau tega sekali. Pergi dan aku yakin kau tidak akan kembali setelah bertemu gadis-gadis kota. Marmut kita itu juga akan mati merindukanmu.”
“Marmut ataukah dirimu yang akan merindukanku?”
“Jangan bercanda!” dia melotot dan mengibaskan rambutnya yang rusak dan kemerahan.
“Aku pergi ya,”
“Silakan. Tapi sepatumu tak akan ku kembalikan. Buku dan rautanmu juga. Mereka akan kubuang.”
Aku tersenyum lalu pergi. Itu ingatan terakhirku tentang Lian hingga siang ini saat aku mendarat di komplek “remang-remang” itu lagi. Aku tak sabar ingin bertemu dengannya.
“Pak, tahu dimana Lian?” tanyaku kepada Bapak seketika tiba di rumah.
“Kau ini, baru juga pulang, yang diingat langsung Lian. Kau ingin menemui gadis aneh itu?”
“Aneh?” kuucapkan sambil tertawa dalam hati. Ya, Lian memang berbeda tapi untuk disebut aneh rasanya kurang pantas.
“Iya gadis aneh itu. Yang membual bahwa rambutnya terbuat dari emas.”
Aku terheran-heran. ‘Apa maksudnya?’ Lalu bapak berkisah panjang lebar. Kira-kira di suatu malam 3 tahun sejak kepergianku, Lian dan ibunya bertengkar hebat. Mereka saling berteriak hingga seluruh komplek mendengarnya. Lelaki-lelaki hidung belang yang biasa “mengunjungi” ibu Lian pun tak ada yang berani mendekat ke rumahnya. Tak seorang pun tau apa yang Lian dan Ibunya ributkan. Yang terdengar hanya suara bantingan perabot rumah, Lian yang berteriak, ibunya yang berteriak, dan Lian yang menangis. Tiga hari dari pertengkaran itu, Lian tak nampak keluar rumah sama sekali. Meski tetap melayani lelaki seperti biasa, tapi Ibunya tak menjawab apapun saat tetangga menanyakan Lian. Hingga keesokan harinya Lian keluar rumah dengan memakai penutup kepala. Tentu saja hal itu membuat geger seluruh penghuni komplek. Saat ditanya oleh orang-orang, Lian selalu menjawab,
“Dikepalaku tumbuh rambut emas. Jadi aku harus menutupinya.”
Tentu saja tidak ada orang yang percaya.
“Kau ini ada-ada saja Lian. Gara-gara bertengkar dengan ibumu apakah kamu jadi tidak waras”
“Aku serius. Kemarin pagi rambutku berubah menjadi emas. Aku pikir itu warnanya saja, tapi itu benar-benar emas. Makanya aku tidak berani keluar rumah.”
Awalnya tidak ada yang menggubris dan mengira bahwa hari itu Lian hanya ingin mengerjai semua orang di komplek. Tapi hari ke hari Lian tetap mengenakan penutup kepala itu, dan lebih parah lagi dia kemudian selalu mengenakan baju terusan panjang. Penutup kepalanya pun akhirnya berubah nama, hijab.
“Kalau kau tidak bohong, coba tunjukkan kepada kami bahwa kau benar-benar mempunyai rambut emas.” Desak para tetangga yang kebanyakan laki-laki.
“Aku tidak bisa. Saat kalian melihatnya mata kalian akan menjadi buta.”
Semua orang makin tidak percaya hingga 2 hari setelahnya ibu Lian menjadi buta. Penghuni komplek geger, "Mungkinkah gadis aneh itu benar?".
“Hei Lian, kalau rambutmu benar-benar emas, kenapa kau masih saja miskin. Kenapa tidak kau jual saja emas dirambutmu itu?”
“Tidak ada toko emas yang mau membeli rambut.” Kata Lian tanpa ekspressi.
Orang-orang masih tak habis pikir. Mereka semua menyayangkan, Lian yang molek seharusnya bisa sukses menjadi “penerus” ibunya. Tapi tak ada pilihan lain selain percaya bahwa Lian mungkin benar berambut emas, atau lebih tepatnya percaya bahwa Lian itu aneh. Mereka tak ingin mengambil resiko menjadi buta seperti Ibu Lian.
Bagi penduduk sekitar, melihat Lian yang mengenakan baju tertutup lengkap dengan kerudung di komplek “remang-remang” merupakan hal yang ganjal dan tidak wajar. Bukankah terlalu kontras?
Hari pertamaku kembali ke komplek, aku tak berhasil menemukan Lian. Yang kutemukan hanyalah cerita dan informasi lengkap tentang keanehannya. Malam itu pun aku tak dapat tidur. Rinduku menggebu pada gadis masa kecilku itu. Hal itu diperparah dengan rasa penasaran tentang apa yang sesungguhnya terjadi padanya. Dalam hati aku tak percaya Lian mampu membual dan membodohi semua orang seperti itu. Meski nakal dan iseng, tapi Lian adalah anak perempuan yang baik, lucu dan manis. Setidaknya itulah yang tertinggal dalam ingatanku. Namun, jika Lian tidak berbohong mana mungkin ada seseorang memiliki rambut emas. Sungguh tidak masuk di akal untuk manusia yang hidup di era canggih dan modern seperti saat ini.
Hari berikutnya aku kembali mencari Lian. Kutanyakan pada semua orang tapi tak ada yang mau tahu. Kudatangi rumahnya, tapi yang kulihat ada begitu banyak laki-laki sedang mengantri. ‘Ibu Lian pasti sedang sibuk.’ pikirku. Kutelusuri setiap pojok komplek, tapi Lian tak kutemukan juga. Aku heran kenapa tak seorang pun melihatnya.
“Mana ku tahu di mana gadis itu. Tak usahlah kau cari-cari dia. Nanti ikut tak waras juga kau,” kata Pamanku menegur dengan nada bataknya yang khas.
Meski berkali-kali aku dilarang, tapi tidak bisa aku menyerah. Kedatanganku yang hanya 5 hari di komplek ini bukan sekadar mengunjungi Bapak. Ada hal penting lainnya, yaitu Lian. Juga sesuatu yang ingin aku sampaikan padanya.
Aku mulai cemas ketika hingga hari keempatku di komplek itu, dia masih juga tak kutemukan. “Lian juga pasti belum tahu aku datang. Jika tahu, dia pasti sudah berlari menemuiku, dan memelukku.” Besok aku sudah harus berangkat kembali ke kota. Malam ini aku akan sibuk berbenah, jadi aku tak bisa lagi mencari Lian. Lebih dari itu sebenarnya aku sudah tidak tahu lagi kemana harus kucari dia. “Eh…tunggu dulu.” Aku tiba-tiba teringat sesuatu.
“Ah bodohnya aku.” Aku lantas berlari sekencang mungkin. Dalam setiap pijakan aku menyesal, tentang bagaimana aku bisa tidak ingat. Aku dan Lian punya tempat rahasia. Di barisan belakang komplek terdapat ruko-ruko yang dibiarkan kosong untuk menyembunyikan area komplek “remang-remang”. Bisa dianggap sebagai batas territorial. Disana ada sebuah pohon trembesi besar, aku dan Lian membangun rumah pohon disana. Pohonnya yang tinggi memungkinkan kami menengok dunia luar yang terang dan tidak remang-remang. Aku tak pernah melupakannya, tapi bagaimana mungkin selama disini aku tidak ingat.
Malam kian larut dan sudah hampir tengah malam. Aku fokus berlari menelusuri jalanan sempit komplek yang ramai dengan “kesibukan malam”. Sesampainya di pohon trembesi, dari bawah kulihat ada kelap-kelip pelita kecil di rumah pohon kami. Aku bernafas lega, sudah pasti itu Lian. Sigap aku lantas memanjat.
“Kau? Kau? Kau di sini? Sejak kapan?” Lian kaget melihatku. Meski kaget aku tahu wajahnya bersemu merah dan matanya penuh rindu.
“Sudah lama aku sampai, aku mencarimu kemana-mana. Tak menemukanmu.”
“Kau harusnya tau tidak perlu mencariku kemana-mana. Kau harusnya langsung kesini, seperti malam ini. Tapi tak apa, 10 tahun bukan waktu yang singkat untuk terus mengingat,” wajah Lian menunduk, tampak kekecewaan muncul diantara air mukanya yang mempesona. Kami saling diam beberapa saat. Aku sibuk melepas kangen pada gadisku, pada wajah yang tak pernah lepas dari otakku. Kutelusuri lamat-lamat dan benar ada kerudung di kepala Lian, menyembunyikan rambutnya yang dulu merah. Namun, diantara temaram pelita lilin, kusadari Lian tampak begitu cantik, kulit wajahnya mulus, bersih bersinar meski tidak putih. Matanya tajam bulat dan ayu. Hidungnya proporsional, dan bibirnya… Ahh aku menelan ludah.
“Aku mendengar banyak cerita tentangmu…”
“Tentang aku yang aneh?” trabas Lian sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku.
“Apakah itu benar? Rambutmu menjadi emas?” Aku menyelidiki sambil menahan tangan yang gatal ingin menyetuh kepala Lian dan mengintip rambut di balik kerudung itu.
“Ya…” Lian menunduk dan menjawab pelan.
“Sungguh?” ujarku sambil meraih wajahnya agar menatapku. Tindakan yang lantas membuatku menyesal, karena hatiku lalu bergetar hebat melihat parasnya yang menawan. Dan atas pertanyaanku, Lian mengiyakan dengan sebuah anggukan.
“Maukah menunjukkannya padaku?”
“Aku tidak bisa, nanti kau jadi buta. Dan aku tak mau itu,” Dia mengelak dan membuatku gemas.
“Ini aku Lian, bukan orang lain,”
“Tak apa jika kau tidak percaya,”
“Tidak bisakah kau menebak? Untuk apa aku kembali meski sudah 10 tahun?”
Lian menatapku dengan indah lalu menjawab, “Untuk Marmut, buku, sepatu dan rautanmu? Maaf, tapi mereka sudah terbuang. Marmut itu juga sudah lama sekali mati. Tinggal aku,” mendengar itu aku tersenyum geli. ‘sungguh dia masih Lianku yang dulu.’
“Tepat sekali. Tinggal dirimu. Dan aku datang untuk mengambilnya.” Lian memandangku mencari kebohongan. Tapi aku tahu pasti dia tak akan menemukannya. “Aku sudah punya banyak uang. Bisa saja aku menikah dengan gadis-gadis kota dan tidak kembali seperti yang pernah kau katakan. Tapi aku tetap kembali. Untukmu,”
Bisa kulihat rona bahagia menari-menari di mata Lian. Aku tahu, sejak dulu tahu, dia mencintaiku dan aku pun sama.
“Ikutlah denganku Lian, ke komplek yang terang dan tidak remang-remang. Menikahlah denganku,” Lian mengangguk sembari tersenyum lebar, cantik dan cantik dan cantik.
“Lalu maukah kau memperlihatkan rambut emasmu?” aku lagi-lagi menyelidik.
“Nanti kau bisa buta. Sungguh…”
“Kau tidak percaya padaku? Lekakimu?” Aku gugup, rasa penasaran itu sungguh mengganggu. Lian harus mau memperlihatkannya, dan demi aku dia tak akan menolak.
Lian setuju. Diraihnya kerudung merah di kepalanya, pelan dia membuka. Lalu bisa kulihat untaian rambut panjang yang hitam legam berkilauan. Wajah yang sedari tadi sudah kujelaskan cantik dan bersinar, kini terlihat lebih dan lebih rupawan. Lian ayu dan indah sekali.
Aku kalah demi melihat kecantikan Lian. Pikiranku kosong, koyak dan beterbaran. Hatiku, darahku dan birahiku mengalir deras. Kecantikannya telah membuatku buta dan lupa diri. Yang kuinginkan hanya satu, memilikinya, seutuhnya, malam itu juga.
Kupeluk Lian tanpa basa-basi. Kueratkan dia dalam tubuhku. Kurasakan di berontak. Tapi aku tak rela, aku kukuh. Toh dia akan menjadi istriku. Kudekap Lian kian erat, tak kugubris usahanya minta dilepaskan. Aku ingin memilikinya, seluruhnya. Bahkan menunggu besok pun aku tak bisa, aku tak tahan melihat kilau ayu parasnya. Di atas pohon trembesi kami bergumul, aku mendesak mendekap, Lian berontak menolak. Hingga berikutnya dia mendorongku kuat hingga aku berhasil terhempas. Lalu aku tak ingat apa- apa lagi.
Keesokan paginya aku terbangun oleh suara berisik di sekitar. Bisa kurasakan aku tengah berbaring diatas sebuah ranjang.
“Nak, kau sudah bangun,” kudengar suara Bapak menyapaku. Ingin segera kujawab iya, karena aku tahu pasti aku seharusnya memang sudah terjaga. Tapi, kenapa tak kulihat apapun? Aku yakin aku sudah membuka mata, tapi kenapa yang tampak hanya gelap? Aku lalu teringat Lian.
***