Jumat, 29 Desember 2017

Gandangan

Gandangan
by Indah Zumrotun
Jujur saja aku tidak begitu dekat dengan Mbah Tri, ibu dari Bapak, meski beliau begitu menyayangiku. Dibanding dengan cucu-cucunya (empat cucu perempuan) yang lain, akulah yang lebih sering diberi sangu1. Waktu kecil pun, menurut cerita, beliau yang sering ngemong2 aku sambil gandangan3 hingga aku tertidur.
“Tak lelo lelo lelo legung
Cah ayu turu esuk esuk
Tak lelo lelo lelo legung
Ndang gedhe ndang duwur”
Tak lelo lelo lelo legung
Anak cantik tidur pagi-pagi
Tak lelo lelo lelo legung
Cepat besar cepat tinggi
Sampai aku dewasa dan beliau sudah semakin tua pun, Mbah Tri masih sering gandangan sambil duduk di kursi depan rumah. Gandangannya tidak merdu, hanya menyanyi asal-asalan dengan lirik impromptu.
“Urip kok yo ngene
Ndang tuwo ayo ndang mati
Urip kok yo ngene
Awak lara ora mati-mati”
            Hidup kok seperti ini
            Cepat tua ayo cepat mati
            Hidup kok seperti ini
            Badan sakit tapi tidak segera mati
Meski tidak begitu dekat, bukan berarti aku benci pada beliau. Hanya sedikit tidak suka saja, karena setelah dewasa banyak kudengar gunjingan-gunjingan orang tentangnya. Bukan gunjingan yang baik tentu saja. Gunjingan itu mungkin berasal dari temperamen Mbah-ku yang sering meledak-ledak. Kalau marah beliau sering berteriak-teriak. Kalau sudah lepas kendali, Mbah Tri bisa berteriak sambil menjelek-jelekkan orang yang tidak dia suka, bisa mengungkit hutang, dan menyebar-nyebarkan aib keluarganya sendiri. Orang-orang juga bilang kalau Mbah Tri bisa jadi pakai susuk atau ilmu dukun karena suaminya banyak, dan umurnya terlampau panjang. Orang bahkan juga sudah memprediksi atau lebih tepatnya menyumpahi menurutku,”Mbah Tri nanti kalau mati pasti susah.” Hal itu membuatku sebal dan malu pada teman-teman sepermainan.
Mbah Tri sudah tua, menurut gunjingan tetangga beliau mungkin sudah berumur hampir 100 tahun. Teman-teman (yang kata orang) seusia Mbah Tri pun sudah jauh-jauh tahun banyak yang meninggal. Tapi ya mbuh4
Sekarang aku sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta, luar kota. Hidup di kos-kosan dan perantauan bukan hal yang mudah. Aku sering mimpi yang aneh-aneh. Dan sudah tiga hari ini aku memimpikan Mbah Tri.
“Arep mangkat, Nduk? (Mau berangkat, Nak?)”
“Nggih Mbah.. (Iya Mbah)”
“Sing ati-ati, ndang sukses. (Yang hati-hati, semoga segera sukses)”          
Di mimpiku aku tengah berpamitan dengan Mbah Tri, seperti yang biasa kulakukan saat akan kembali ke rantauan setelah beberapa hari rehat di rumah. Hanya tiga kalimat percakapan itu, sama persis seperti dialog kami saat aku berpamitan terakhir kali.
‘Apa si Mbah kangen padaku ya?’ pikirku.
Tidak ada kabar apapun dari rumah jadi kupikir Mbah Tri pasti masih baik-baik saja. Aku pun cuek. Tapi lama-lama mimpiku mulai seram, Mbah Tri gandangan. Bukannya aku takut, toh aku sudah terbiasa mendengar gandangan-nya sejak bayi. Tapi lama-lama hal itu mengganggu kualitas tidurku. Akhirnya aku pun memutuskan untuk mengambil cuti dan pulang ke rumah. Aku sengaja tidak memberi kabar kali ini, biar surprise.
Setelah satu hari perjalanan dengan bus aku sampai di rumah. Tubuhku rasanya remuk, lelah sekali. Sial, aku dapat bus yang tempat duduknya tidak nyaman. Belum lagi bus-nya ngebut, padahal jalan yang dilalui adalah jalan pegunungan yang berkelok-kelok. Untung sekali aku tidak mabuk perjalanan.
Aku sampai di rumah pagi hari, orang tuaku sedang bekerja jadi rumah sepi. Aku hanya berdua dengan Mbah Tri, yang seperti biasa duduk di bangku depan rumah sambil gandangan saat aku datang.
“Ndonya saya peteng
Urip kok yo gene
Uwong-uwong lewat meneng wae
Udan ora leren-leren”
Dunia semakin gelap
Hidup kok seperti ini
Orang-orang lewat tanpa menyapa
Hujan tidak segera berhenti
Kusalami beliau dan beliau tampak mengenaliku. Sampai di rumah, aku langsung tidur. Biasanya memang begitu, orang tua ku pun sudah tau dan tidak pernah membangunkanku hingga aku bangun sendiri. Jika begitu, aku bisa tidur hingga lima jam.
Dari kamar masih kudengar Mbah Tri gandangan, bukan menyanyi yang merdu dan liriknya pun impromptu. Aku pun jadi tidur lelap sekali. Kali ini aku tertidur hingga lebih dari lima jam. Kudengar Bapak Ibu sudah di rumah. Aku pun keluar jalan-jalan sore, meregangkan otot.
Mbah Tri masih di tempat yang sama dan masih gandangan. Aku melewatinya begitu saja, lalu jalan-jalan di sekitar rumah. Sore yang indah, langitnya temaram dengan jingga selaras dengan hamparan padi yang kuning siap di panen. Ingin ku potret, tapi baru kuingat ponselku mati dan belum sempat ku-charge.
Hampir magrib aku pulang. Di perjalanan, kulihat segerombolan orang ramai-ramai. Penasaran aku pun mendekat. Mereka tampak terburu-buru ke suatu tempat.
“Lha, mbah Tri meninggalnya bagaimana?”
“Ya pas tidur dikamar gitu, lalu di tengok bapaknya Mira, eh udah nggak ada.”
“Innalillahi ya….”
Aku yang mendengar terkesiap mendengar nama Mbah Tri dan namaku disebut. Terkejut tiba-tiba. ‘Apa? Mbah Tri meninggal? Tadi pagi masih baik-baik saja di depan. Bahkan tadi sebelum jalan-jalan juga masih kulihat di depan rumah…’ Aku langsung berlari menuju rumah. Sepenggal percakapan yang kudengar cukup membuatku bertenaga untuk berlari seperti kuda.
Kulihat di rumah sudah berkerumun banyak orang, tong-tong air sudah disiapkan seperti untuk memandikan jenazah. Bunga-bunga rampai sudah di rangkai. Ada keranda juga di pojok rumah. Astaga, aku sungguh terkejut. Aku mungkin tidak begitu menyukai Mbah Tri, tapi bagaimanapun beliau nenekku.
Aku mencoba masuk rumah, mlipir diantara banyak kerumunan orang. Dalam hati sebal juga, ‘permisssiiiii ini aku cucunya lho, kok ya ngga diberi jalan.’
Susah payah aku bisa masuk dalam rumah. Di ruang tengah diletakkan dipan panjang, ada jenazah disana. Bapak dan Ibu menangis. Budhe-budhe, bulek-bulek dan sepupu-sepupu juga menangis. Aku cukup heran, tak kusangka mereka begitu menyayangi Mbah Tri.
Detik berikutnya aku terkejut bukan kepalang. Darahku berdesir hebat. Dari tadi aku yang masih berdiri saja, kini sudah jatuh terjerembab. Lama kuamati jenazah di depanku. Dari kain putih transparan yang menutupi wajah jenazah aku bisa mengenalinya. Itu bukan wajah Mbah Tri. Itu wajahku.
Kudengar tetangga berbisik-bisik,
“Bagaimana bisa?”
“Kecelakaan. Bisnya selip lalu terguling,”
“Ya Allah… kok bisa ya… Messakke5..... Padahal Mbah Tri saja belum ada tiga hari meninggalnya.”
Aku bingung, duduk tak percaya. Lalu aku berdiri dan berjalan keluar. Kusadari, tak ada seorang pun tampak melihatku. Sepertinya benar itu jenazahku. Dari jauh kulihat sekelompok orang bermotor memasuki parkiran rumah. Kukenali mereka, sahabat-sahabatku. Kebanyakan mereka tampak menahan tangis.
“Urip wes wayahe
Uwong tuwo ayo mati wae
Udan gledek gedhe gedhe
Ati anyep ra ono kancane”
Hidup sudah waktunya
Orang tua lekas mati saja
Hujan gemuruhnya membahana
Hati dingin tidak berteman
Lalu tiba-tiba kudengar gandangan Mbah Tri. Aku menoleh kebelakang dan melihat Mbah Tri tersenyum memanggilku.


1sangu              : uang saku
2ngemong        : merawat
3gandangan     : nyanyian kecil (senandung)
4mbuh              : tidak tahu
5messakke        : kasihan
****
#cerpen #shortstory #original #sastra #literature #referensi #cerita #post #writing #writer