Minggu, 01 April 2018

Perempuan Berambut Emas

Perempuan Berambut Emas
By Indah Zumrotun

Namanya Lian, kawanku semasa kecil. Dulu saat kami masih sekolah di SD yang reot itu, Lian gadis yang lincah. Kulitnya sawo matang karena sering bermain bersamaku dan anak laki-laki lainnnya. Disini jarang anak perempuan. Mereka yang punya anak perempuan pasti langsung pindah. Lian dan Ibunya saja yang masih bertahan di komplek kumuh ini. Dan yang bukan hanya kumuh, tapi juga “remang-remang”.
10 tahun lalu, selepas kelulusan SD aku pindah ikut pamanku ke kota yang lebih besar. Masih kuingat Lian menangis dengan keras saat aku berpamitan.
“Kau tega sekali. Pergi dan aku yakin kau tidak akan kembali setelah bertemu gadis-gadis kota. Marmut kita itu juga akan mati merindukanmu.”
“Marmut ataukah dirimu yang akan merindukanku?”
“Jangan bercanda!” dia melotot dan mengibaskan rambutnya yang rusak dan kemerahan.
“Aku pergi ya,”
“Silakan. Tapi sepatumu tak akan ku kembalikan. Buku dan rautanmu juga. Mereka akan kubuang.”
Aku tersenyum lalu pergi. Itu ingatan terakhirku tentang Lian hingga siang ini saat aku mendarat di komplek “remang-remang” itu lagi. Aku tak sabar ingin bertemu dengannya.
“Pak, tahu dimana Lian?” tanyaku kepada Bapak seketika tiba di rumah.
“Kau ini, baru juga pulang, yang diingat langsung Lian. Kau ingin menemui gadis aneh itu?”
“Aneh?” kuucapkan sambil tertawa dalam hati. Ya, Lian memang berbeda tapi untuk disebut aneh rasanya kurang pantas.
“Iya gadis aneh itu. Yang membual bahwa rambutnya terbuat dari emas.”
Aku terheran-heran. ‘Apa maksudnya?’ Lalu bapak berkisah panjang lebar. Kira-kira di suatu malam 3 tahun sejak kepergianku, Lian dan ibunya bertengkar hebat. Mereka saling berteriak hingga seluruh komplek mendengarnya. Lelaki-lelaki hidung belang yang biasa “mengunjungi” ibu Lian pun tak ada yang berani mendekat ke rumahnya. Tak seorang pun tau apa yang Lian dan Ibunya ributkan. Yang terdengar hanya suara bantingan perabot rumah, Lian yang berteriak, ibunya yang berteriak, dan Lian yang menangis. Tiga hari dari pertengkaran itu, Lian tak nampak keluar rumah sama sekali. Meski tetap melayani lelaki seperti biasa, tapi Ibunya tak menjawab apapun saat tetangga menanyakan Lian. Hingga keesokan harinya Lian keluar rumah dengan memakai penutup kepala. Tentu saja hal itu membuat geger seluruh penghuni komplek. Saat ditanya oleh orang-orang, Lian selalu menjawab,
“Dikepalaku tumbuh rambut emas. Jadi aku harus menutupinya.”
Tentu saja tidak ada orang yang percaya.
“Kau ini ada-ada saja Lian. Gara-gara bertengkar dengan ibumu apakah kamu jadi tidak waras”
“Aku serius. Kemarin pagi rambutku berubah menjadi emas. Aku pikir itu warnanya saja, tapi itu benar-benar emas. Makanya aku tidak berani keluar rumah.”
Awalnya tidak ada yang menggubris dan mengira bahwa hari itu Lian hanya ingin mengerjai semua orang di komplek. Tapi hari ke hari Lian tetap mengenakan penutup kepala itu, dan lebih parah lagi dia kemudian selalu mengenakan baju terusan panjang. Penutup kepalanya pun akhirnya berubah nama, hijab.
“Kalau kau tidak bohong, coba tunjukkan kepada kami bahwa kau benar-benar mempunyai rambut emas.” Desak para tetangga yang kebanyakan laki-laki.
“Aku tidak bisa. Saat kalian melihatnya mata kalian akan menjadi buta.”
Semua orang makin tidak percaya hingga 2 hari setelahnya ibu Lian menjadi buta. Penghuni komplek geger, "Mungkinkah gadis aneh itu benar?".
“Hei Lian, kalau rambutmu benar-benar emas, kenapa kau masih saja miskin. Kenapa tidak kau jual saja emas dirambutmu itu?”
“Tidak ada toko emas yang mau membeli rambut.” Kata Lian tanpa ekspressi.
Orang-orang masih tak habis pikir. Mereka semua menyayangkan, Lian yang molek seharusnya bisa sukses menjadi “penerus” ibunya. Tapi tak ada pilihan lain selain percaya bahwa Lian mungkin benar berambut emas, atau lebih tepatnya percaya bahwa Lian itu aneh. Mereka tak ingin mengambil resiko menjadi buta seperti Ibu Lian.
Bagi penduduk sekitar, melihat Lian yang mengenakan baju tertutup lengkap dengan kerudung di komplek “remang-remang” merupakan hal yang ganjal dan tidak wajar. Bukankah terlalu kontras?
Hari pertamaku kembali ke komplek, aku tak berhasil menemukan Lian. Yang kutemukan hanyalah cerita dan informasi lengkap tentang keanehannya. Malam itu pun aku tak dapat tidur. Rinduku menggebu pada gadis masa kecilku itu. Hal itu diperparah dengan rasa penasaran tentang apa yang sesungguhnya terjadi padanya. Dalam hati aku tak percaya Lian mampu membual dan membodohi semua orang seperti itu. Meski nakal dan iseng, tapi Lian adalah anak perempuan yang baik, lucu dan manis. Setidaknya itulah yang tertinggal dalam ingatanku. Namun, jika Lian tidak berbohong mana mungkin ada seseorang memiliki rambut emas. Sungguh tidak masuk di akal untuk manusia yang hidup di era canggih dan modern seperti saat ini.
Hari berikutnya aku kembali mencari Lian. Kutanyakan pada semua orang tapi tak ada yang mau tahu. Kudatangi rumahnya, tapi yang kulihat ada begitu banyak laki-laki sedang mengantri. ‘Ibu Lian pasti sedang sibuk.’ pikirku. Kutelusuri setiap pojok komplek, tapi Lian tak kutemukan juga. Aku heran kenapa tak seorang pun melihatnya.
“Mana ku tahu di mana gadis itu. Tak usahlah kau cari-cari dia. Nanti ikut tak waras juga kau,” kata Pamanku menegur dengan nada bataknya yang khas.
Meski berkali-kali aku dilarang, tapi tidak bisa aku menyerah. Kedatanganku yang hanya 5 hari di komplek ini bukan sekadar mengunjungi Bapak. Ada hal penting lainnya, yaitu Lian. Juga sesuatu yang ingin aku sampaikan padanya.
Aku mulai cemas ketika hingga hari keempatku di komplek itu, dia masih juga tak kutemukan. “Lian juga pasti belum tahu aku datang. Jika tahu, dia pasti sudah berlari menemuiku, dan memelukku.” Besok aku sudah harus berangkat kembali ke kota. Malam ini aku akan sibuk berbenah, jadi aku tak bisa lagi mencari Lian. Lebih dari itu sebenarnya aku sudah tidak tahu lagi kemana harus kucari dia. “Eh…tunggu dulu.” Aku tiba-tiba teringat sesuatu.
“Ah bodohnya aku.” Aku lantas berlari sekencang mungkin. Dalam setiap pijakan aku menyesal, tentang bagaimana aku bisa tidak ingat. Aku dan Lian punya tempat rahasia. Di barisan belakang komplek terdapat ruko-ruko yang dibiarkan kosong untuk menyembunyikan area komplek “remang-remang”. Bisa dianggap sebagai batas territorial. Disana ada sebuah pohon trembesi besar, aku dan Lian membangun rumah pohon disana. Pohonnya yang tinggi memungkinkan kami menengok dunia luar yang terang dan tidak remang-remang. Aku tak pernah melupakannya, tapi bagaimana mungkin selama disini aku tidak ingat.
Malam kian larut dan sudah hampir tengah malam. Aku fokus berlari menelusuri jalanan sempit komplek yang ramai dengan “kesibukan malam”. Sesampainya di pohon trembesi, dari bawah kulihat ada kelap-kelip pelita kecil di rumah pohon kami. Aku bernafas lega, sudah pasti itu Lian. Sigap aku lantas memanjat.
“Kau? Kau? Kau di sini? Sejak kapan?” Lian kaget melihatku. Meski kaget aku tahu wajahnya bersemu merah dan matanya penuh rindu.
“Sudah lama aku sampai, aku mencarimu kemana-mana. Tak menemukanmu.”
“Kau harusnya tau tidak perlu mencariku kemana-mana. Kau harusnya langsung kesini, seperti malam ini. Tapi tak apa, 10 tahun bukan waktu yang singkat untuk terus mengingat,” wajah Lian menunduk, tampak kekecewaan muncul diantara air mukanya yang mempesona. Kami saling diam beberapa saat. Aku sibuk melepas kangen pada gadisku, pada wajah yang tak pernah lepas dari otakku. Kutelusuri lamat-lamat dan benar ada kerudung di kepala Lian, menyembunyikan rambutnya yang dulu merah. Namun, diantara temaram pelita lilin, kusadari Lian tampak begitu cantik, kulit wajahnya mulus, bersih bersinar meski tidak putih. Matanya tajam bulat dan ayu. Hidungnya proporsional, dan bibirnya… Ahh aku menelan ludah.
“Aku mendengar banyak cerita tentangmu…”
“Tentang aku yang aneh?” trabas Lian sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku.
“Apakah itu benar? Rambutmu menjadi emas?” Aku menyelidiki sambil menahan tangan yang gatal ingin menyetuh kepala Lian dan mengintip rambut di balik kerudung itu.
“Ya…” Lian menunduk dan menjawab pelan.
“Sungguh?” ujarku sambil meraih wajahnya agar menatapku. Tindakan yang lantas membuatku menyesal, karena hatiku lalu bergetar hebat melihat parasnya yang menawan. Dan atas pertanyaanku, Lian mengiyakan dengan sebuah anggukan.
“Maukah menunjukkannya padaku?”
“Aku tidak bisa, nanti kau jadi buta. Dan aku tak mau itu,” Dia mengelak dan membuatku gemas.
“Ini aku Lian, bukan orang lain,”
“Tak apa jika kau tidak percaya,”
“Tidak bisakah kau menebak? Untuk apa aku kembali meski sudah 10 tahun?”
Lian menatapku dengan indah lalu menjawab, “Untuk Marmut, buku, sepatu dan rautanmu? Maaf, tapi mereka sudah terbuang. Marmut itu juga sudah lama sekali mati. Tinggal aku,” mendengar itu aku tersenyum geli. ‘sungguh dia masih Lianku yang dulu.’
“Tepat sekali. Tinggal dirimu. Dan aku datang untuk mengambilnya.” Lian memandangku mencari kebohongan. Tapi aku tahu pasti dia tak akan menemukannya. “Aku sudah punya banyak uang. Bisa saja aku menikah dengan gadis-gadis kota dan tidak kembali seperti yang pernah kau katakan. Tapi aku tetap kembali. Untukmu,”
Bisa kulihat rona bahagia menari-menari di mata Lian. Aku tahu, sejak dulu tahu, dia mencintaiku dan aku pun sama.
“Ikutlah denganku Lian, ke komplek yang terang dan tidak remang-remang. Menikahlah denganku,” Lian mengangguk sembari tersenyum lebar, cantik dan cantik dan cantik.
“Lalu maukah kau memperlihatkan rambut emasmu?” aku lagi-lagi menyelidik.
“Nanti kau bisa buta. Sungguh…”
“Kau tidak percaya padaku? Lekakimu?” Aku gugup, rasa penasaran itu sungguh mengganggu. Lian harus mau memperlihatkannya, dan demi aku dia tak akan menolak.
Lian setuju. Diraihnya kerudung merah di kepalanya, pelan dia membuka. Lalu bisa kulihat untaian rambut panjang yang hitam legam berkilauan. Wajah yang sedari tadi sudah kujelaskan cantik dan bersinar, kini terlihat lebih dan lebih rupawan. Lian ayu dan indah sekali.
Aku kalah demi melihat kecantikan Lian. Pikiranku kosong, koyak dan beterbaran. Hatiku, darahku dan birahiku mengalir deras. Kecantikannya telah membuatku buta dan lupa diri. Yang kuinginkan hanya satu, memilikinya, seutuhnya, malam itu juga.
Kupeluk Lian tanpa basa-basi. Kueratkan dia dalam tubuhku. Kurasakan di berontak. Tapi aku tak rela, aku kukuh. Toh dia akan menjadi istriku. Kudekap Lian kian erat, tak kugubris usahanya minta dilepaskan. Aku ingin memilikinya, seluruhnya. Bahkan menunggu besok pun aku tak bisa, aku tak tahan melihat kilau ayu parasnya. Di atas pohon trembesi kami bergumul, aku mendesak mendekap, Lian berontak menolak. Hingga berikutnya dia mendorongku kuat hingga aku berhasil terhempas. Lalu aku tak ingat apa- apa lagi.
Keesokan paginya aku terbangun oleh suara berisik di sekitar. Bisa kurasakan aku tengah berbaring diatas sebuah ranjang.
“Nak, kau sudah bangun,” kudengar suara Bapak menyapaku. Ingin segera kujawab iya, karena aku tahu pasti aku seharusnya memang sudah terjaga. Tapi, kenapa tak kulihat apapun? Aku yakin aku sudah membuka mata, tapi kenapa yang tampak hanya gelap? Aku lalu teringat Lian.
***


Minggu, 14 Januari 2018

PRASANGKA

Prasangka
By Indah Zumrotun
Ada remah roti tertinggal di meja. Semut mengambilnya satu-satu. Yang tersisa di ruang makan hanya Ayu. Yang lain sudah bubar bersama urusannya masing-masing. Pembicaraan dengan Ibu beberapa hari lalu masih menggantung. Ayu memikirkannya tapi tak mengatakannya. Rasanya Ibu pun sama. Dan di meja makan pagi ini pun semua bisu. Ibu diam, Bapak apalagi. Tergesa menyelesaikan sarapannya lalu pergi. Ayu tak pernah tahu bagaimana pendapatnya perihal masalah ini.
Sekitar tiga hari yang lalu, suasana rumah persis seperti pagi ini hanya saja waktu itu sore hari. Sepi hanya ada Ayu dan Ibu,
“Yu, tadi Mbak Runi kemari,” ucap Ibu sore itu. Langit desa remang, paduan antara senja dan mendung.
“Lalu?”
“Ada lamaran datang,” Ibu menjawab dengan ringan, masih sambil melipat baju sejak tadi.
Ayu diam. Mengernyitkan dahi dan menoleh pada Ibu. Ibu pun akhirnya menghentikan aktifitas dan balas menoleh. Mencoba menerjemahkan respon yang tersirat di raut wajah Ayu.
“Ada lamaran, untukmu, dari seorang lelaki,”
“Siapa?” Tanyaku dengan nada yang dibuat begitu natural dan cool meskipun hati terkejut minta ampun.
Lalu begitulah, obrolan sore itu mengarah pada seorang lelaki bernama Harun. Mas Harun sebenarnya satu desa dengan Ayu, namun Ayu yang 4 tahun ini kuliah di luar kota tentu saja tak pernah tahu menahu. Jangankan mengenal wajahnya, mendengar namanya saja baru kali itu. Menurut Ibu, Mas Harun mungkin berusia 30 tahunan, sudah bekerja, tamatan STM, tak terlalu pintar bergaul dengan perempuan. Ibu Mas Harun sedang sakit.  Dia ingin segera menikah sebelum hal buruk terjadi, sebagai pemenuhan mimpi terakhir Ibunya.
Lengkap sudah, kabar itu menutup malam Ayu dalam kegalauan. Sesungguhnya Ayu tidak anti dengan perjodohan, toh banyak juga ta'aruf yang berhasil bahagia. Selama ini bukan hanya satu dua kali dia berpikir untuk nantinya minta dicarikan saja calon suami oleh Bapak dan Ibu lantaran kisah cintanya yang sedikit amburadul. Tapi entah kenapa datangnya kabar ini justru bagai halilintar. Ayu pun tak tahu apa yang membuatnya bimbang.
‘Jika bukan masalah perjodohan, lalu apakah masalah latar belakang pendidikannya? Banyak juga orang tak kuliah bisa meraih sukses dan malah sebaliknya. Jadi tak seharusnya aku memandang rendah hanya karena dia hanya tamatan STM dan aku perguruan tinggi. Lalu apa? Belum kenal? Semua hubungan dimulai dengan perkenalan kan, lantas apa salahnya? Kurang ganteng? Ahh aku bukan tipe orang yang menilai karena penampilan fisik. Toh aku juga bukan perempuan yang molek kan? lagipula bertemu saja belum.’ sepanjang malam Ayu terus bertanya-tanya. Kemudian semua excuse itu mengarah pada satu hal.
Ayu memang butuh pasangan. Hidupnya yang melelahkan membutuhkan lelaki untuk paling tidak membuatnya tersenyum barang satu detik. Dia tidak butuh lelaki berharta seperti Mas Bayu, suami kakak pertamanya. Dia tidak butuh lelaki seganteng Mas Taufik suami kakak keduanya. Bukan yang tampan, bukan yang kaya, dan tak harus sangat pintar tetapi yang mampu menjaganya tetap tersenyum meski di tengah duka sedalam apapun. Dan kata Ibu, Mas Harun tak pintar bergaul dengan perempuan.
Pikiran Ayu membayang, sudah siapkah aku dengan pernikahan? Secepat ini? Apa itu pernikahan? Haruskah aku menikah? Lantas bagaimana dengan mimpi-mimpi yang belum terwujud? Dengan karir?’ Hal-hal yang tak terpikir sebelumnya pun datang bertubi-tubi.
“Perempuan memang pada akhirnya pasti berakhir di dapur dan rumah tangga, tak ada yang lain. Ibu bilang apa, buat apa sekolah tinggi-tinggi? Dulu seumurmu Ibu sudah punya kamu. Lha kamu, punya pacar saja belum.” Kata Ibu suatu waktu. Bapak ada di sana, namun seperti biasa, beliau hanya diam. Menyimak tak bersuara. Bapak memang selalu pendiam dengan urusan-urusan seperti ini, seolah tak peduli. Jika ditanya pun, jawabannya hanya satu, “Terserah kamu.” Dulu waktu memutuskan jurusan untuk kuliah juga begitu.
“Tapi kan, aku mau nyari kerja dulu Bu.”
“Sampai kapan?” Aku lantas terdiam.
Huff katanya emansipasi. Katanya wanita sudah setara dengan lelaki. Tapi masalah memilih bekerja atau berumah tangga saja masih jadi pilihan wanita. Tidak bisakah perempuan menjadi pihak yang memilih? Tidak melulu dipilih dan menanti, menanti dan menanti.
Sosok seperti apa yang akan datang pada Ayu melalui pembicaraan dengan Ibu pun masih misterius. Katanya sudah mature dan mapan. Hmmm bisakah?
 ***
Adzan magrib belum lama berlalu. Udara dingin menusuk-nusuk, memaksa orang untuk langsung meringkuk bergumul dengan kasur. Ayu baru saja meletakkan Qur’an yang dibacanya ketika ponselnya berbunyi. Sebuah sms dari nomor tidak dikenal.
Assalammualaikum.’ Hanya itu. Ayu tertegun. Maksud hati dia malas membalas dan meladeni pesan-pesan tidak jelas seperti itu. Namun akhirnya Ayu membalas juga, sekadar ingin tahu dia siapa. Siapa tahu dia….
‘Walaikumsalam.’ Jawab Ayu singkat. Lama ditunggu, tak ada balasan lagi. Dan percakapan dengan nomor tidak dikenal pun hanya sampai disitu.
Malam berikutnya sms datang lagi, nomor yang sama,
‘Assalamualaikum.’
Kali ini Ayu menerimanya dengan sebal. Batinnya keki juga karena merasa dipermainkan. Maka kali ini dia pun menjawab ketus,
‘Walaikumsalam. Ini siapa si?’ satu menit kemudian smartphonenya berdering lagi tanda pesan masuk.
‘Harun.’ Singkat, padat, dan jelas. Dalam hatinya Ayu menggerutu, ‘ini cowok ngga ada basi-basinya ya. Nyebelin banget sumpah.’ Ayu yang pada dasarnya memang sedikit antipati (over-selective) pada cowok sama sekali tidak mendapatkan first impression yang menarik. Boro-boro good first impression, sebal sekali malahan. Dalam hati dia memutuskan, ‘ngga bisa nih. Ini cowok ngga bisa nih buat aku. Ngga cocok banget sama karakterku. Kaku gini pasti mem-bo-san-kan.’ Rutuknya dalam hati.
Ingin sekali dia tidak membalas, tapi ini bukan lagi tentang dia dan seorang lelaki tak dikenal yang biasa. Ini menyangkut keluarga. Maka ditahanlah perangainya yang suka semaunya, dan dijawablah pesan itu oleh Ayu demi menjaga nama baik. Nama baik siapa? Entahlah.
‘Oh mas Harun. Ada apa?’
‘Ayu apa kabar?’
‘Alhamdulilah.’
Satu menit. Dua menit. 15 menit. 30 menit. 2 jam. Dan hingga Ayu memeriksa ponselnya untuk yang terakhir kali malam itu sebelum berangkat tidur, tak ada balasan lagi dari Mas Harun. Hatinya kecut, ‘Sialan ni orang. Yang butuh siapa si sebenernya. Udah dikasih respon baik malah gitu. Awas aja, kutolak baru tau rasa.’
Perihal komunikasi via sms ini pun dia sampaikan ke Bapak Ibunya pagi-pagi di meja sarapan. Ada Bapak, tapi seperti biasa diam saja. Seolah beliau punya dunia sendiri yang tidak seorangpun bisa menebak apa yang akan beliau lakukan sedetik kemudian.
“Bu, mas-mas yang itu ngirim sms.” Ayu membuka percakapan di meja sederhana yang lebih mirip meja persidangan.
“Mas-mas siapa, to?” sahut Ibu sambil mengernyitkan dahi. “Ooo… Harun??’ jawab Ibu sedetik kemudian seolah bisa menebak meski Ayu belum mengatakannya. Ayu membalas dengan anggukan. Terlihat Bapak sedikit tertarik, tapi masih diam. “Sms gimana?” tanya Ibu.
“Aneh. Bilang assalammualaikum saja, terus kubalas malah ngga dibalas lagi. Sebal aku,”
“Lha namanya juga ngga pandai bergaul dengan perempuan.’
“Ah embuh lah.” jawab Ayu kesal.
“Kamu harusnya lebih ngerti. Lha gimana kamu mau ngga?”
“Tapi apa Ibu sama Bapak ngga ingin aku sukses berkarir dulu. Buat apa kuliah mahal-mahal…”
“Ya Ibu sih terserah kamu, Ndhuk. Tapi Ibu heran lho, kok bisa kamu di lamar sama anak orang yang “bernama” di sini. Menurut primbon jawa, perhitungan tanggalmu dan tanggalnya juga cocok banget lho. Kalau jadi kan bisa ngangkat nama baik keluarga. Ya memang si selisih umurnya lumayan, 7 tahun. Kalau dulu Ibu sama Bapak selisihnya 10 tahun. Tapi ya keputusan ada di kamu,”
Ayu cuma bisa memandangi Ibu dengan kernyitan dahi yang berlipat-lipat. ‘Maksudnya apa?’
Dan begitu lah, perbicangan tentang lamaran itu pun masih berakhir menggantung.
 ***
Dua malam setelah sms yang terakhir kali, Mas Harun kembali mengirim sms. Kali ini percakapan Ayu dengannya sedikit lebih panjang. Lewat percakapan pesan singkat itu mereka memutuskan untuk bertemu, lusa.
Sesungguhnya, Ayu sudah memutuskan apa jawaban yang akan dia berikan pada Harun. Ayu sudah cukup bisa mengira-ngira, menilai dan menyimpulkan bagaimana karakter lelaki itu. Ayu sudah memutuskan, tapi tidak ingin memberi tahu Bapak Ibunya. Nanti saja ketika lelaki itu datang kerumah, pikirnya.
Tahu lelaki itu akan datang kerumah, Ibu tampak senang. Meski hanya tersirat, tapi Ayu tahu Ibu bersemangat. Dalam hati dia merasa tak enak, ketika melihat Ibu terlanjur senang sedangkan sebenarnya dia akan menolak lamaran itu. Bapak masih diam saja, tidak berkomentar apa-apa. Meski sering berkumpul dan membicarakan banyak hal, tapi tak sekalipun Bapak menyinggung masalah lamaran ini. Pernah Ayu mendengar Ibu mencoba bertanya kepada Bapak, tapi jawaban Bapak hanya “Terserah Ayu saja,”
Hari H datang juga. Ayu bersiap. Deg-degan juga dia. Ini kali pertamanya menghadapi hal seperti ini. Komat-kamit dia membaca bismillah, memantapkan hati menguatkan tekad. ‘Bukan. Ini bukan tentang latar belakang pendidikan. Apalagi tentang paras. Ini tentang mas Harun yang membosankan.’
“Tidak. Aku belum siap menikah.” Itu kalimat yang dipersiapkannya. Sisanya impromptu saja.
Pukul 7 malam, mas Harun sampai di rumah. Ibu yang membukakan pintu. Bapak ikut keluar dan mereka bertiga duduk di ruang tamu. Ibu tampak ramah sambil menyembunyikan rasa sumringah. Beberapa menit kemudian Ibu memanggil Ayu keluar.
Ayu keluar kamar, mencoba sedemikian rupa agar terlihat tenang dan biasa saja. Dia mengarahkan matanya keseluruh ruangan, dan menemukan yang namanya Mas Harun. Dilihatnya seorang lelaki duduk menghadapnya. Tubuhnya tinggi, badannya tidak gemuk dan tidak kurus. Potongan rambutnya cepak rapi, kulitnya sawo matang, ada 2 jerawat di wajahnya. Mas Harun mengenakan kemeja kotak-kotak merah lengan panjang yang digulung sesiku, dengan jeans biru navy dan sepatu kets putih.
Ayu terpana, apa yang dihadapannya jauh berbeda dari bentuk rupa penampilan mas Harun yang ia rencanakan. Mas Harun yang kini di hadapannya tampak kekinian dan menarik. Senyumnya ramah, air muka nya menyenangkan.
‘Mungkinkah sms-sms yang lalu hanya kesalahan?’ gumamnya dalam hati. ‘Tidak. Ini tidak boleh. Aku harus mencoba dulu saja, tidak bisa kuputuskan malam ini. Ya, begitu saja. Untung belum terlanjur’
Ayu duduk sambil menahan senyum malu akan pikiran-pikirannya selama ini. Juga atas keputusan yang akan dia katakan.
“Tapi maaf nak Harun. Ayu belum bisa menikah dulu, dia ingin mengejar mimpinya, ingin berkarir dulu. Dan Bapak mendukungnya,”
Tiba-tiba ditengah kecamuk pikiran di hati dan otak Ayu yang ingin menunda keputusannya untuk bilang tidak, Bapak angkat bicara… membungkam semua angan-angan.
****
#cerpen #shortstory #sastra #literature #writer#cerita

Jumat, 29 Desember 2017

Gandangan

Gandangan
by Indah Zumrotun
Jujur saja aku tidak begitu dekat dengan Mbah Tri, ibu dari Bapak, meski beliau begitu menyayangiku. Dibanding dengan cucu-cucunya (empat cucu perempuan) yang lain, akulah yang lebih sering diberi sangu1. Waktu kecil pun, menurut cerita, beliau yang sering ngemong2 aku sambil gandangan3 hingga aku tertidur.
“Tak lelo lelo lelo legung
Cah ayu turu esuk esuk
Tak lelo lelo lelo legung
Ndang gedhe ndang duwur”
Tak lelo lelo lelo legung
Anak cantik tidur pagi-pagi
Tak lelo lelo lelo legung
Cepat besar cepat tinggi
Sampai aku dewasa dan beliau sudah semakin tua pun, Mbah Tri masih sering gandangan sambil duduk di kursi depan rumah. Gandangannya tidak merdu, hanya menyanyi asal-asalan dengan lirik impromptu.
“Urip kok yo ngene
Ndang tuwo ayo ndang mati
Urip kok yo ngene
Awak lara ora mati-mati”
            Hidup kok seperti ini
            Cepat tua ayo cepat mati
            Hidup kok seperti ini
            Badan sakit tapi tidak segera mati
Meski tidak begitu dekat, bukan berarti aku benci pada beliau. Hanya sedikit tidak suka saja, karena setelah dewasa banyak kudengar gunjingan-gunjingan orang tentangnya. Bukan gunjingan yang baik tentu saja. Gunjingan itu mungkin berasal dari temperamen Mbah-ku yang sering meledak-ledak. Kalau marah beliau sering berteriak-teriak. Kalau sudah lepas kendali, Mbah Tri bisa berteriak sambil menjelek-jelekkan orang yang tidak dia suka, bisa mengungkit hutang, dan menyebar-nyebarkan aib keluarganya sendiri. Orang-orang juga bilang kalau Mbah Tri bisa jadi pakai susuk atau ilmu dukun karena suaminya banyak, dan umurnya terlampau panjang. Orang bahkan juga sudah memprediksi atau lebih tepatnya menyumpahi menurutku,”Mbah Tri nanti kalau mati pasti susah.” Hal itu membuatku sebal dan malu pada teman-teman sepermainan.
Mbah Tri sudah tua, menurut gunjingan tetangga beliau mungkin sudah berumur hampir 100 tahun. Teman-teman (yang kata orang) seusia Mbah Tri pun sudah jauh-jauh tahun banyak yang meninggal. Tapi ya mbuh4
Sekarang aku sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta, luar kota. Hidup di kos-kosan dan perantauan bukan hal yang mudah. Aku sering mimpi yang aneh-aneh. Dan sudah tiga hari ini aku memimpikan Mbah Tri.
“Arep mangkat, Nduk? (Mau berangkat, Nak?)”
“Nggih Mbah.. (Iya Mbah)”
“Sing ati-ati, ndang sukses. (Yang hati-hati, semoga segera sukses)”          
Di mimpiku aku tengah berpamitan dengan Mbah Tri, seperti yang biasa kulakukan saat akan kembali ke rantauan setelah beberapa hari rehat di rumah. Hanya tiga kalimat percakapan itu, sama persis seperti dialog kami saat aku berpamitan terakhir kali.
‘Apa si Mbah kangen padaku ya?’ pikirku.
Tidak ada kabar apapun dari rumah jadi kupikir Mbah Tri pasti masih baik-baik saja. Aku pun cuek. Tapi lama-lama mimpiku mulai seram, Mbah Tri gandangan. Bukannya aku takut, toh aku sudah terbiasa mendengar gandangan-nya sejak bayi. Tapi lama-lama hal itu mengganggu kualitas tidurku. Akhirnya aku pun memutuskan untuk mengambil cuti dan pulang ke rumah. Aku sengaja tidak memberi kabar kali ini, biar surprise.
Setelah satu hari perjalanan dengan bus aku sampai di rumah. Tubuhku rasanya remuk, lelah sekali. Sial, aku dapat bus yang tempat duduknya tidak nyaman. Belum lagi bus-nya ngebut, padahal jalan yang dilalui adalah jalan pegunungan yang berkelok-kelok. Untung sekali aku tidak mabuk perjalanan.
Aku sampai di rumah pagi hari, orang tuaku sedang bekerja jadi rumah sepi. Aku hanya berdua dengan Mbah Tri, yang seperti biasa duduk di bangku depan rumah sambil gandangan saat aku datang.
“Ndonya saya peteng
Urip kok yo gene
Uwong-uwong lewat meneng wae
Udan ora leren-leren”
Dunia semakin gelap
Hidup kok seperti ini
Orang-orang lewat tanpa menyapa
Hujan tidak segera berhenti
Kusalami beliau dan beliau tampak mengenaliku. Sampai di rumah, aku langsung tidur. Biasanya memang begitu, orang tua ku pun sudah tau dan tidak pernah membangunkanku hingga aku bangun sendiri. Jika begitu, aku bisa tidur hingga lima jam.
Dari kamar masih kudengar Mbah Tri gandangan, bukan menyanyi yang merdu dan liriknya pun impromptu. Aku pun jadi tidur lelap sekali. Kali ini aku tertidur hingga lebih dari lima jam. Kudengar Bapak Ibu sudah di rumah. Aku pun keluar jalan-jalan sore, meregangkan otot.
Mbah Tri masih di tempat yang sama dan masih gandangan. Aku melewatinya begitu saja, lalu jalan-jalan di sekitar rumah. Sore yang indah, langitnya temaram dengan jingga selaras dengan hamparan padi yang kuning siap di panen. Ingin ku potret, tapi baru kuingat ponselku mati dan belum sempat ku-charge.
Hampir magrib aku pulang. Di perjalanan, kulihat segerombolan orang ramai-ramai. Penasaran aku pun mendekat. Mereka tampak terburu-buru ke suatu tempat.
“Lha, mbah Tri meninggalnya bagaimana?”
“Ya pas tidur dikamar gitu, lalu di tengok bapaknya Mira, eh udah nggak ada.”
“Innalillahi ya….”
Aku yang mendengar terkesiap mendengar nama Mbah Tri dan namaku disebut. Terkejut tiba-tiba. ‘Apa? Mbah Tri meninggal? Tadi pagi masih baik-baik saja di depan. Bahkan tadi sebelum jalan-jalan juga masih kulihat di depan rumah…’ Aku langsung berlari menuju rumah. Sepenggal percakapan yang kudengar cukup membuatku bertenaga untuk berlari seperti kuda.
Kulihat di rumah sudah berkerumun banyak orang, tong-tong air sudah disiapkan seperti untuk memandikan jenazah. Bunga-bunga rampai sudah di rangkai. Ada keranda juga di pojok rumah. Astaga, aku sungguh terkejut. Aku mungkin tidak begitu menyukai Mbah Tri, tapi bagaimanapun beliau nenekku.
Aku mencoba masuk rumah, mlipir diantara banyak kerumunan orang. Dalam hati sebal juga, ‘permisssiiiii ini aku cucunya lho, kok ya ngga diberi jalan.’
Susah payah aku bisa masuk dalam rumah. Di ruang tengah diletakkan dipan panjang, ada jenazah disana. Bapak dan Ibu menangis. Budhe-budhe, bulek-bulek dan sepupu-sepupu juga menangis. Aku cukup heran, tak kusangka mereka begitu menyayangi Mbah Tri.
Detik berikutnya aku terkejut bukan kepalang. Darahku berdesir hebat. Dari tadi aku yang masih berdiri saja, kini sudah jatuh terjerembab. Lama kuamati jenazah di depanku. Dari kain putih transparan yang menutupi wajah jenazah aku bisa mengenalinya. Itu bukan wajah Mbah Tri. Itu wajahku.
Kudengar tetangga berbisik-bisik,
“Bagaimana bisa?”
“Kecelakaan. Bisnya selip lalu terguling,”
“Ya Allah… kok bisa ya… Messakke5..... Padahal Mbah Tri saja belum ada tiga hari meninggalnya.”
Aku bingung, duduk tak percaya. Lalu aku berdiri dan berjalan keluar. Kusadari, tak ada seorang pun tampak melihatku. Sepertinya benar itu jenazahku. Dari jauh kulihat sekelompok orang bermotor memasuki parkiran rumah. Kukenali mereka, sahabat-sahabatku. Kebanyakan mereka tampak menahan tangis.
“Urip wes wayahe
Uwong tuwo ayo mati wae
Udan gledek gedhe gedhe
Ati anyep ra ono kancane”
Hidup sudah waktunya
Orang tua lekas mati saja
Hujan gemuruhnya membahana
Hati dingin tidak berteman
Lalu tiba-tiba kudengar gandangan Mbah Tri. Aku menoleh kebelakang dan melihat Mbah Tri tersenyum memanggilku.


1sangu              : uang saku
2ngemong        : merawat
3gandangan     : nyanyian kecil (senandung)
4mbuh              : tidak tahu
5messakke        : kasihan
****
#cerpen #shortstory #original #sastra #literature #referensi #cerita #post #writing #writer