Minggu, 18 Agustus 2013

PERANG KUASA



Gaduh mulai mengadu
Bernyanyi bising, memekakkan telinga
BOSAN! Aku bosan!
Karena hanya itu yang selalu terdengar

KACAU!

Kaca-kaca berteriak pecah
Kayu-kayu meja berdesah kasar
Bising. Memekakkan telinga
Lantai-lantai pun berdecit pasrah

Saling beradu. Saling berkicau
Saling berebut. Saling memaksa
Apa? Tentang apa?
Apa tahta? Apa kuasa? Uang?

Sampai pagar tersapu angin terkelupas
Sampai abu tertiup jadi debu
Masih saja! Apa masih tentang tahta? Kuasa? Uang?
AMBIL! Ambil aku tak butuh!

Aku butuh pedulimu bukan uangmu
Aku butuh adilmu bukan kuasamu
Aku tak butuh simpatimu, aku butuh empatimu
Aku butuh tatapan bukan mata

Sampai besi penuh karat
Sampai kayu penuh rayap
Hingga pesan ini tinggal kerak

Masih saja…

Kata Memang Harus Terucap



Ruang lingkup yang sempit menghimpit,
Memenjara waktu dalam sepi yang tak henti
Membiarkannya bingung memutar ruangan mencari tempat bersemayam

Dia, si roda makna yang berputar tanpa poros
Dia, sejumput pasir yang tak bertanah
Dia, sepasang mata mewakili kata

Ketika keangkuhan merajai udara, kata kelu tak terurai
Memang, tak akan cair tanpa ada yang mencairkan
Memang, tak akan terucap tanpa ada yang mengungkapkan

Tak perlu warna untuk melukis
Tak perlu batang untuk menopang

Hanya butuh waktu…..mewakili

Minggu, 21 April 2013

GAGAL (lagi)

Tuhan, bagaimana aku harus berbicara lagi? Doa, restu, kesungguhan semua sudah kuniati dan kugambar dalam nyata.
Tuhan, bagaimana aku harus berbicara lagi? Bahkan luh ini sudah tidak sanggup lagi memikul kecewa.
Tuhan, bagaimana aku harus berbicara lagi? Kepada perempuan di sampingku, yang kusebut Ibu.
Tuhan, bagaimana aku harus berbicara lagi? Kepada lelaki penjagaku, yang kusebut Bapak.
Lelah ini tak seberapa jika aku harus menahan, tapi lelah ini menjadi maha besar jika itu karena mereka yang kusebut Bapak dan Ibu.

Sejauh itukah Kau letakkan keberuntunganku?
Apa di dasar laut? karena Kau tahu aku tak pandai berenang.
Apa di atas pohon? karena Kau tahu aku tak pandai memanjat.
Apa di atas bukit? karena Kau tahu aku tak pandai mendaki.
Kenapa tak sekali saja, "itu" Kau letakkan di akhir buku, karena aku pandai membaca.

Aku gagal lagi. Gagal mendapatkannya, juga gagal melukis lega di wajah mereka yang kusebut Bapak dan Ibu.
Tuhan, jika saja, Kau mau mengabulkannya, jika bukan untukku, maka kabulkanlah untuk mereka yang kusebut Bapak dan Ibu.