Gandangan
by
Indah Zumrotun
Jujur saja aku
tidak begitu dekat dengan Mbah Tri, ibu dari Bapak, meski beliau begitu
menyayangiku. Dibanding dengan cucu-cucunya (empat cucu perempuan) yang lain, akulah
yang lebih sering diberi sangu1.
Waktu kecil pun, menurut cerita, beliau yang sering ngemong2 aku sambil gandangan3
hingga aku tertidur.
“Tak lelo lelo lelo legung
Cah ayu turu esuk esuk
Tak lelo lelo lelo legung
Ndang gedhe ndang duwur”
Tak
lelo lelo lelo legung
Anak
cantik tidur pagi-pagi
Tak
lelo lelo lelo legung
Cepat
besar cepat tinggi
Sampai aku dewasa
dan beliau sudah semakin tua pun, Mbah Tri masih sering gandangan sambil duduk
di kursi depan rumah. Gandangannya tidak merdu, hanya menyanyi asal-asalan
dengan lirik impromptu.
“Urip kok yo ngene
Ndang tuwo ayo ndang mati
Urip kok yo ngene
Awak lara ora mati-mati”
Hidup kok seperti
ini
Cepat tua ayo cepat mati
Hidup kok seperti ini
Badan sakit tapi tidak segera mati
Meski tidak begitu
dekat, bukan berarti aku benci pada beliau. Hanya sedikit tidak suka saja,
karena setelah dewasa banyak kudengar gunjingan-gunjingan orang tentangnya.
Bukan gunjingan yang baik tentu saja. Gunjingan itu mungkin berasal dari
temperamen Mbah-ku yang sering meledak-ledak. Kalau marah beliau sering
berteriak-teriak. Kalau sudah lepas kendali, Mbah Tri bisa berteriak sambil
menjelek-jelekkan orang yang tidak dia suka, bisa mengungkit hutang, dan
menyebar-nyebarkan aib keluarganya sendiri. Orang-orang juga bilang kalau Mbah
Tri bisa jadi pakai susuk atau ilmu dukun karena suaminya banyak, dan umurnya
terlampau panjang. Orang bahkan juga sudah memprediksi atau lebih tepatnya
menyumpahi menurutku,”Mbah Tri nanti kalau mati pasti susah.” Hal itu membuatku
sebal dan malu pada teman-teman sepermainan.
Mbah Tri sudah
tua, menurut gunjingan tetangga beliau mungkin sudah berumur hampir 100 tahun. Teman-teman
(yang kata orang) seusia Mbah Tri pun sudah jauh-jauh tahun banyak yang
meninggal. Tapi ya mbuh4…
Sekarang aku sudah
bekerja di sebuah perusahaan swasta, luar kota. Hidup di kos-kosan dan
perantauan bukan hal yang mudah. Aku sering mimpi yang aneh-aneh. Dan sudah
tiga hari ini aku memimpikan Mbah Tri.
“Arep mangkat, Nduk? (Mau berangkat, Nak?)”
“Nggih Mbah.. (Iya Mbah)”
“Sing ati-ati, ndang sukses. (Yang hati-hati, semoga
segera sukses)”
Di mimpiku aku
tengah berpamitan dengan Mbah Tri, seperti yang biasa kulakukan saat akan
kembali ke rantauan setelah beberapa hari rehat di rumah. Hanya tiga kalimat
percakapan itu, sama persis seperti dialog kami saat aku berpamitan terakhir
kali.
‘Apa si Mbah
kangen padaku ya?’ pikirku.
Tidak ada kabar apapun
dari rumah jadi kupikir Mbah Tri pasti masih baik-baik saja. Aku pun cuek. Tapi
lama-lama mimpiku mulai seram, Mbah Tri gandangan. Bukannya aku takut, toh aku
sudah terbiasa mendengar gandangan-nya sejak bayi. Tapi lama-lama hal itu
mengganggu kualitas tidurku. Akhirnya aku pun memutuskan untuk mengambil cuti
dan pulang ke rumah. Aku sengaja tidak memberi kabar kali ini, biar surprise.
Setelah satu hari
perjalanan dengan bus aku sampai di rumah. Tubuhku rasanya remuk, lelah sekali.
Sial, aku dapat bus yang tempat duduknya tidak nyaman. Belum lagi bus-nya
ngebut, padahal jalan yang dilalui adalah jalan pegunungan yang berkelok-kelok.
Untung sekali aku tidak mabuk perjalanan.
Aku sampai di
rumah pagi hari, orang tuaku sedang bekerja jadi rumah sepi. Aku hanya berdua
dengan Mbah Tri, yang seperti biasa duduk di bangku depan rumah sambil
gandangan saat aku datang.
“Ndonya saya peteng
Urip kok yo gene
Uwong-uwong lewat meneng wae
Udan ora leren-leren”
Dunia
semakin gelap
Hidup
kok seperti ini
Orang-orang
lewat tanpa menyapa
Hujan
tidak segera berhenti
Kusalami beliau
dan beliau tampak mengenaliku. Sampai di rumah, aku langsung tidur. Biasanya
memang begitu, orang tua ku pun sudah tau dan tidak pernah membangunkanku
hingga aku bangun sendiri. Jika begitu, aku bisa tidur hingga lima jam.
Dari kamar masih
kudengar Mbah Tri gandangan, bukan menyanyi yang merdu dan liriknya pun
impromptu. Aku pun jadi tidur lelap sekali. Kali ini aku tertidur hingga lebih dari
lima jam. Kudengar Bapak Ibu sudah di rumah. Aku pun keluar jalan-jalan sore,
meregangkan otot.
Mbah Tri masih di tempat
yang sama dan masih gandangan. Aku melewatinya begitu saja, lalu jalan-jalan di
sekitar rumah. Sore yang indah, langitnya temaram dengan jingga selaras dengan
hamparan padi yang kuning siap di panen. Ingin ku potret, tapi baru kuingat
ponselku mati dan belum sempat ku-charge.
Hampir magrib aku
pulang. Di perjalanan, kulihat segerombolan orang ramai-ramai. Penasaran aku
pun mendekat. Mereka tampak terburu-buru ke suatu tempat.
“Lha, mbah Tri
meninggalnya bagaimana?”
“Ya pas tidur
dikamar gitu, lalu di tengok bapaknya Mira, eh udah nggak ada.”
“Innalillahi ya….”
Aku yang mendengar
terkesiap mendengar nama Mbah Tri dan namaku disebut. Terkejut tiba-tiba. ‘Apa?
Mbah Tri meninggal? Tadi pagi masih baik-baik saja di depan. Bahkan tadi
sebelum jalan-jalan juga masih kulihat di depan rumah…’ Aku langsung berlari
menuju rumah. Sepenggal percakapan yang kudengar cukup membuatku bertenaga
untuk berlari seperti kuda.
Kulihat di rumah
sudah berkerumun banyak orang, tong-tong air sudah disiapkan seperti untuk
memandikan jenazah. Bunga-bunga rampai sudah di rangkai. Ada keranda juga di
pojok rumah. Astaga, aku sungguh terkejut. Aku mungkin tidak begitu menyukai
Mbah Tri, tapi bagaimanapun beliau nenekku.
Aku mencoba masuk
rumah, mlipir diantara banyak kerumunan
orang. Dalam hati sebal juga, ‘permisssiiiii ini aku cucunya lho, kok ya ngga
diberi jalan.’
Susah payah aku
bisa masuk dalam rumah. Di ruang tengah diletakkan dipan panjang, ada jenazah
disana. Bapak dan Ibu menangis. Budhe-budhe, bulek-bulek dan sepupu-sepupu juga
menangis. Aku cukup heran, tak kusangka mereka begitu menyayangi Mbah Tri.
Detik berikutnya
aku terkejut bukan kepalang. Darahku berdesir hebat. Dari tadi aku yang masih
berdiri saja, kini sudah jatuh terjerembab. Lama kuamati jenazah di depanku.
Dari kain putih transparan yang menutupi wajah jenazah aku bisa mengenalinya.
Itu bukan wajah Mbah Tri. Itu wajahku.
Kudengar tetangga
berbisik-bisik,
“Bagaimana bisa?”
“Kecelakaan.
Bisnya selip lalu terguling,”
“Ya Allah… kok
bisa ya… Messakke5.....
Padahal Mbah Tri saja belum ada tiga hari meninggalnya.”
Aku bingung, duduk
tak percaya. Lalu aku berdiri dan berjalan keluar. Kusadari, tak ada seorang
pun tampak melihatku. Sepertinya benar itu jenazahku. Dari jauh kulihat
sekelompok orang bermotor memasuki parkiran rumah. Kukenali mereka, sahabat-sahabatku.
Kebanyakan mereka tampak menahan tangis.
“Urip wes wayahe
Uwong tuwo ayo mati wae
Udan gledek gedhe gedhe
Ati anyep ra ono kancane”
Hidup
sudah waktunya
Orang
tua lekas mati saja
Hujan
gemuruhnya membahana
Hati
dingin tidak berteman
Lalu tiba-tiba
kudengar gandangan Mbah Tri. Aku menoleh kebelakang dan melihat Mbah Tri
tersenyum memanggilku.
1sangu :
uang saku
2ngemong :
merawat
3gandangan :
nyanyian kecil (senandung)
4mbuh :
tidak tahu
5messakke :
kasihan
****
#cerpen #shortstory #original #sastra #literature #referensi #cerita #post #writing #writer