Perempuan Berambut Emas
By Indah
Zumrotun
Namanya Lian, kawanku semasa kecil. Dulu saat kami masih sekolah di SD
yang reot itu, Lian gadis yang lincah. Kulitnya sawo matang karena sering
bermain bersamaku dan anak laki-laki lainnnya. Disini jarang anak perempuan.
Mereka yang punya anak perempuan pasti langsung pindah. Lian dan Ibunya saja
yang masih bertahan di komplek kumuh ini. Dan yang bukan hanya kumuh, tapi juga
“remang-remang”.
10 tahun lalu, selepas kelulusan SD aku pindah ikut pamanku ke kota yang
lebih besar. Masih kuingat Lian menangis dengan keras saat aku berpamitan.
“Kau tega sekali. Pergi dan aku yakin kau tidak akan kembali setelah
bertemu gadis-gadis kota. Marmut kita itu juga akan mati merindukanmu.”
“Marmut ataukah dirimu yang akan merindukanku?”
“Jangan bercanda!” dia melotot dan mengibaskan rambutnya yang rusak dan
kemerahan.
“Aku pergi ya,”
“Silakan. Tapi sepatumu tak akan ku kembalikan. Buku dan rautanmu juga.
Mereka akan kubuang.”
Aku tersenyum lalu pergi. Itu ingatan terakhirku tentang Lian hingga
siang ini saat aku mendarat di komplek “remang-remang” itu lagi. Aku tak sabar
ingin bertemu dengannya.
“Pak, tahu dimana Lian?” tanyaku kepada Bapak seketika tiba di rumah.
“Kau ini, baru juga pulang, yang diingat langsung Lian. Kau ingin
menemui gadis aneh itu?”
“Aneh?” kuucapkan sambil tertawa dalam hati. Ya, Lian memang berbeda
tapi untuk disebut aneh rasanya kurang pantas.
“Iya gadis aneh itu. Yang membual bahwa rambutnya terbuat dari emas.”
Aku terheran-heran. ‘Apa maksudnya?’ Lalu bapak berkisah panjang lebar.
Kira-kira di suatu malam 3 tahun sejak kepergianku, Lian dan ibunya bertengkar
hebat. Mereka saling berteriak hingga seluruh komplek mendengarnya.
Lelaki-lelaki hidung belang yang biasa “mengunjungi” ibu Lian pun tak ada yang
berani mendekat ke rumahnya. Tak seorang pun tau apa yang Lian dan Ibunya
ributkan. Yang terdengar hanya suara bantingan perabot rumah, Lian yang
berteriak, ibunya yang berteriak, dan Lian yang menangis. Tiga hari dari
pertengkaran itu, Lian tak nampak keluar rumah sama sekali. Meski tetap
melayani lelaki seperti biasa, tapi Ibunya tak menjawab apapun saat tetangga
menanyakan Lian. Hingga keesokan harinya Lian keluar rumah dengan memakai
penutup kepala. Tentu saja hal itu membuat geger seluruh penghuni komplek. Saat
ditanya oleh orang-orang, Lian selalu menjawab,
“Dikepalaku tumbuh rambut emas. Jadi aku harus menutupinya.”
Tentu saja tidak ada orang yang percaya.
“Kau ini ada-ada saja Lian. Gara-gara bertengkar dengan ibumu apakah
kamu jadi tidak waras”
“Aku serius. Kemarin pagi rambutku berubah menjadi emas. Aku pikir itu
warnanya saja, tapi itu benar-benar emas. Makanya aku tidak berani keluar
rumah.”
Awalnya tidak ada yang menggubris dan mengira bahwa hari itu Lian hanya
ingin mengerjai semua orang di komplek. Tapi hari ke hari Lian tetap mengenakan
penutup kepala itu, dan lebih parah lagi dia kemudian selalu mengenakan baju
terusan panjang. Penutup kepalanya pun akhirnya berubah nama, hijab.
“Kalau kau tidak bohong, coba tunjukkan kepada kami bahwa kau
benar-benar mempunyai rambut emas.” Desak para tetangga yang kebanyakan
laki-laki.
“Aku tidak bisa. Saat kalian melihatnya mata kalian akan menjadi buta.”
Semua orang makin tidak percaya hingga 2 hari setelahnya ibu Lian
menjadi buta. Penghuni komplek geger, "Mungkinkah gadis aneh itu benar?".
“Hei Lian, kalau rambutmu benar-benar emas, kenapa kau masih saja
miskin. Kenapa tidak kau jual saja emas dirambutmu itu?”
“Tidak ada toko emas yang mau membeli rambut.” Kata Lian tanpa
ekspressi.
Orang-orang masih tak habis pikir. Mereka semua menyayangkan, Lian yang molek
seharusnya bisa sukses menjadi “penerus” ibunya. Tapi tak ada pilihan lain selain percaya
bahwa Lian mungkin benar berambut emas, atau lebih tepatnya percaya bahwa Lian
itu aneh. Mereka tak ingin mengambil resiko menjadi buta seperti Ibu Lian.
Bagi penduduk sekitar, melihat Lian yang mengenakan baju tertutup
lengkap dengan kerudung di komplek “remang-remang” merupakan hal yang ganjal dan
tidak wajar. Bukankah terlalu kontras?
Hari pertamaku kembali ke komplek, aku tak berhasil menemukan Lian. Yang
kutemukan hanyalah cerita dan informasi lengkap tentang keanehannya. Malam
itu pun aku tak dapat tidur. Rinduku menggebu pada gadis masa kecilku itu. Hal itu diperparah dengan rasa penasaran tentang apa yang sesungguhnya terjadi padanya. Dalam
hati aku tak percaya Lian mampu membual dan membodohi semua orang seperti itu.
Meski nakal dan iseng, tapi Lian adalah anak perempuan yang baik, lucu dan
manis. Setidaknya itulah yang tertinggal dalam ingatanku. Namun, jika Lian
tidak berbohong mana mungkin ada seseorang memiliki rambut emas. Sungguh tidak
masuk di akal untuk manusia yang hidup di era canggih dan modern seperti saat
ini.
Hari berikutnya aku kembali mencari Lian. Kutanyakan pada semua orang
tapi tak ada yang mau tahu. Kudatangi rumahnya, tapi yang kulihat ada begitu
banyak laki-laki sedang mengantri. ‘Ibu Lian pasti sedang sibuk.’ pikirku.
Kutelusuri setiap pojok komplek, tapi Lian tak kutemukan juga. Aku heran kenapa
tak seorang pun melihatnya.
“Mana ku tahu di mana gadis itu. Tak usahlah kau cari-cari dia. Nanti
ikut tak waras juga kau,” kata Pamanku menegur dengan nada bataknya yang khas.
Meski berkali-kali aku dilarang, tapi tidak bisa aku menyerah. Kedatanganku
yang hanya 5 hari di komplek ini bukan sekadar mengunjungi Bapak. Ada hal
penting lainnya, yaitu Lian. Juga sesuatu yang ingin aku sampaikan padanya.
Aku mulai cemas ketika hingga hari keempatku di komplek itu, dia masih juga tak
kutemukan. “Lian juga pasti belum tahu aku datang. Jika tahu, dia
pasti sudah berlari menemuiku, dan memelukku.” Besok aku sudah harus berangkat
kembali ke kota. Malam ini aku akan sibuk berbenah, jadi aku tak bisa lagi
mencari Lian. Lebih dari itu sebenarnya aku sudah tidak tahu lagi kemana harus
kucari dia. “Eh…tunggu dulu.” Aku tiba-tiba teringat sesuatu.
“Ah bodohnya aku.” Aku lantas berlari sekencang mungkin. Dalam setiap pijakan
aku menyesal, tentang bagaimana aku bisa tidak ingat. Aku dan Lian punya tempat
rahasia. Di barisan belakang komplek terdapat ruko-ruko yang dibiarkan kosong
untuk menyembunyikan area komplek “remang-remang”. Bisa dianggap sebagai batas
territorial. Disana ada sebuah pohon trembesi besar, aku dan Lian membangun
rumah pohon disana. Pohonnya yang tinggi memungkinkan kami menengok dunia luar yang terang dan tidak remang-remang. Aku tak pernah melupakannya, tapi bagaimana
mungkin selama disini aku tidak ingat.
Malam kian larut dan sudah hampir tengah malam. Aku fokus berlari
menelusuri jalanan sempit komplek yang ramai dengan “kesibukan malam”.
Sesampainya di pohon trembesi, dari bawah kulihat ada kelap-kelip pelita kecil
di rumah pohon kami. Aku bernafas lega, sudah pasti itu Lian. Sigap aku lantas
memanjat.
“Kau? Kau? Kau di sini? Sejak kapan?” Lian kaget melihatku. Meski kaget
aku tahu wajahnya bersemu merah dan matanya penuh rindu.
“Sudah lama aku sampai, aku mencarimu kemana-mana. Tak menemukanmu.”
“Kau harusnya tau tidak perlu mencariku kemana-mana. Kau harusnya
langsung kesini, seperti malam ini. Tapi tak apa, 10 tahun bukan waktu yang
singkat untuk terus mengingat,” wajah Lian menunduk, tampak kekecewaan muncul
diantara air mukanya yang mempesona. Kami saling diam beberapa saat. Aku sibuk
melepas kangen pada gadisku, pada wajah yang tak pernah lepas dari otakku.
Kutelusuri lamat-lamat dan benar ada kerudung di kepala Lian, menyembunyikan
rambutnya yang dulu merah. Namun, diantara temaram pelita lilin, kusadari Lian
tampak begitu cantik, kulit wajahnya mulus, bersih bersinar meski tidak putih.
Matanya tajam bulat dan ayu. Hidungnya proporsional, dan bibirnya… Ahh aku
menelan ludah.
“Aku mendengar banyak cerita tentangmu…”
“Tentang aku yang aneh?” trabas Lian sebelum aku sempat menyelesaikan
kalimatku.
“Apakah itu benar? Rambutmu menjadi emas?” Aku menyelidiki sambil
menahan tangan yang gatal ingin menyetuh kepala Lian dan mengintip rambut di balik
kerudung itu.
“Ya…” Lian menunduk dan menjawab pelan.
“Sungguh?” ujarku sambil meraih wajahnya agar menatapku. Tindakan yang
lantas membuatku menyesal, karena hatiku lalu bergetar hebat melihat parasnya
yang menawan. Dan atas pertanyaanku, Lian mengiyakan dengan sebuah anggukan.
“Maukah menunjukkannya padaku?”
“Aku tidak bisa, nanti kau jadi buta. Dan aku tak mau itu,” Dia mengelak
dan membuatku gemas.
“Ini aku Lian, bukan orang lain,”
“Tak apa jika kau tidak percaya,”
“Tidak bisakah kau menebak? Untuk apa aku kembali meski sudah 10 tahun?”
Lian menatapku dengan indah lalu menjawab, “Untuk Marmut, buku, sepatu
dan rautanmu? Maaf, tapi mereka sudah terbuang. Marmut itu juga sudah lama
sekali mati. Tinggal aku,” mendengar itu aku tersenyum geli. ‘sungguh dia masih
Lianku yang dulu.’
“Tepat sekali. Tinggal dirimu. Dan aku datang untuk mengambilnya.” Lian
memandangku mencari kebohongan. Tapi aku tahu pasti dia tak akan menemukannya.
“Aku sudah punya banyak uang. Bisa saja aku menikah dengan gadis-gadis kota dan
tidak kembali seperti yang pernah kau katakan. Tapi aku tetap kembali.
Untukmu,”
Bisa kulihat rona bahagia menari-menari di mata Lian. Aku tahu, sejak
dulu tahu, dia mencintaiku dan aku pun sama.
“Ikutlah denganku Lian, ke komplek yang terang dan tidak remang-remang.
Menikahlah denganku,” Lian mengangguk sembari tersenyum lebar, cantik dan
cantik dan cantik.
“Lalu maukah kau memperlihatkan rambut emasmu?” aku lagi-lagi
menyelidik.
“Nanti kau bisa buta. Sungguh…”
“Kau tidak percaya padaku? Lekakimu?” Aku gugup, rasa penasaran itu
sungguh mengganggu. Lian harus mau memperlihatkannya, dan demi aku dia tak akan
menolak.
Lian setuju. Diraihnya kerudung merah di kepalanya, pelan dia membuka.
Lalu bisa kulihat untaian rambut panjang yang hitam legam berkilauan. Wajah
yang sedari tadi sudah kujelaskan cantik dan bersinar, kini terlihat lebih dan
lebih rupawan. Lian ayu dan indah sekali.
Aku kalah demi melihat kecantikan Lian. Pikiranku kosong, koyak dan beterbaran. Hatiku, darahku dan birahiku mengalir deras. Kecantikannya telah membuatku buta dan lupa diri. Yang kuinginkan hanya satu, memilikinya, seutuhnya, malam itu juga.
Aku kalah demi melihat kecantikan Lian. Pikiranku kosong, koyak dan beterbaran. Hatiku, darahku dan birahiku mengalir deras. Kecantikannya telah membuatku buta dan lupa diri. Yang kuinginkan hanya satu, memilikinya, seutuhnya, malam itu juga.
Kupeluk Lian tanpa basa-basi. Kueratkan dia dalam tubuhku. Kurasakan di
berontak. Tapi aku tak rela, aku kukuh. Toh dia akan menjadi istriku. Kudekap
Lian kian erat, tak kugubris usahanya minta dilepaskan. Aku ingin memilikinya,
seluruhnya. Bahkan menunggu besok pun aku tak bisa, aku tak tahan melihat kilau
ayu parasnya. Di atas pohon trembesi kami bergumul, aku mendesak mendekap, Lian
berontak menolak. Hingga berikutnya dia mendorongku kuat hingga aku berhasil terhempas. Lalu aku tak ingat apa- apa lagi.
Keesokan paginya aku terbangun oleh suara berisik di sekitar. Bisa
kurasakan aku tengah berbaring diatas sebuah ranjang.
“Nak, kau sudah bangun,” kudengar suara Bapak menyapaku. Ingin segera
kujawab iya, karena aku tahu pasti aku seharusnya memang sudah terjaga. Tapi,
kenapa tak kulihat apapun? Aku yakin aku sudah membuka mata, tapi kenapa yang
tampak hanya gelap? Aku lalu teringat Lian.
***